DARI SINAI KE NUWEIBA: PERANG dan LATIHAN IMAN
Kesaksian Perjalanan Holyland 31 Jan - 11 Pebruari 2012
BEBERAPA hari sebelum berangkat menuju tanah perjanjian, saya menerima pesan dari seorang teman yang memberikan ayat sebagai hasil doanya. Terus terang sewaktu menerima ayat itu, hati saya tidak terlalu senang karena ayat itu bicara tentang perlindungan Tuhan dari musuh. Merasa tidak memiliki musuh, saya mengabaikannya begitu saja dan lebih fokus pada persiapan perjalanan ke Holyland. Rombongan kali ini termasuk istimewa karena terdiri dari 14 pasangan suami isteri (keluarga muda) dan 4 orang peserta single. Di malam keberangkatan menuju Holyland, kami berdoa di bandara memohon pimpinan dan pertolongan Tuhan agar perjalanan ini disertai Tuhan dan kami semua mendapatkan berkat-berkat rohani yang luar biasa. Kelak, doa dan ayat tersebut terbukti adanya. Kami benar-benar merasakan proteksi nyata dari Tuhan secara luar biasa.
Hari pertama kami menginjakkan kaki di Mesir dan melalukan kunjungan ke sejumlah gereja bersejarah di kota tua Mesir dan sekitarnya. Setelah melewatkan satu malam di negara yang sedang mengalami kekacauan politik itu, kami melanjutkan tour ke Piramid dan sekitarnya. Usai makan siang, bus kami melajut meninggalkan kota itu menuju gurun Sinai. Kami memutuskan mendaki tengah malam agar bisa menyaksikan sun rising. Di atas gunung Sinai, kami sempat mengadakan doa pujian dan penyembahan dan semua peserta dilawat Tuhan. Hadira Tuhan sangat terasa dengan kuat. Siapa yang tidak kenal gunung itu. Di dalam PL disebut sebagai gunung Tuhan, tempat dimana Musa berhadapan muka dengan Tuhan dan turun dengan membawa ‘mandat’ dari Tuhan. Kamipun percaya bahwa di atas gunung itu kami telah mengalami perjumpaan dengan-Nya dan turun membawa mandat. Kami turun dengan hati yang penuh sukacita. Hari sudah agak siang sewaktu tiba di Morgen Land Hotel dan usai breakfast kami langsung check out menuju perbatasan Israel. Dari sinilah pengalaman itu dimulai, 4 Pebruari 2012.
Ada sekitar 3 bus besar yang sehotel dengan kami dan 2 bus wisatawan kecil. Satu persatu mereka meninggalkan hotel menuju kota Nuweiba, dekat perbatasan Taba, Israel. Bus kami termasuk bus ketiga yang meninggalkan hotel. Kami semua bersukacita walaupun kelelahan akibat mendaki Sinai.
Sekitar dua kilometer kami berjalan, dari arah berlawanan, terlihat banyak bus dan mobil yang berbalik arah dan melambaikan tangan ke arah driver bus yang kami tumpangi untuk segera memutar haluan. Mula-mula, driver yang juga keturunan Beduin itu cuek saja. Tetapi semakin banyak yang berbalik arah, atas inisiatip sendiri, akhirnya kamipun balik arah kembali menuju hotel, dengan sikap penuh tanda tanya. Di belokan menuju hotel, terdapat pos polisi dan tentara Mesir yang biasanya digunakan untuk checking penumpang. Tapi betapa terkejutnya. Setiba di pos polisi tersebut, tentara dengan senjata penuh sudah menunggu berikut ambulance yang bersiaga dekat pos. Polisi berpakaian sipil sibuk mengarahkan bus dan mobil, kembali ke arah hotel. Sungguh aneh. Sesuatu pasti terjadi. Di tengah ketidakjelasan, kamipun mengikuti arahan tersebut kembali ke hotel di kaki gunung Sinai. Ternyata disana, sudah berkumpul sejumlah besar bus dan wisatawan. Kami diperintahkan secara militer bahwa tidak boleh meninggalkan lokasi sampai pemberitahuan lebih lanjut. Seluruh lokasi tersebut ternyata ‘siaga perang’. Saya tahu semua rombongan berada di dalam ketakutan dan tekanan. Tetapi sebagai pembimbing rohani, saya mengajak seluruh peserta berdoa mohon perlindungan Tuhan dari marabahaya dan penjagaan Tuhan serta keselamatan agar kami semua bisa segera keluar dari situasi perang yang serba tidak menentu di tempat tersebut. “Kita barusan mengalami perjumpaan dengan Tuhan dan tiba saatnya kita menggunakan pengalaman rohani itu untuk memperkuat kita di dalam menghadapi situasi yang sedang berkembang disekitar kita. Tuhan selalu melindungi anak-anakNya dan tidak pernah membiarkan mereka,” demikian saya menenangkan peserta yang sebetulnya memperlihatkan wajah penuh kekuatiran.
Satu jam kemudian, semakin banyak orang berkumpul di lapangan hotel dan kami mendapat kejelasan bahwa sejak malam sebelumnya, sedang terjadi ketegangan antara tentara Mesir dan masyarakat Beduin yang memang mayoritas menetap di gurun Sinai. Masalahnya adalah, masyarakat Beduin ini memiliki hukum sendiri dan punya senjata. Kekerabatan di antara mereka sangat tinggi. Begitu mendengar bahwa saudara sesuku mereka sedang bermasalah dengan tentara di satu wilayah, maka mereka juga akan melakukan perlawanan di wilayahnya masing-masing. Akibatnya, zona perang menjadi luas dan mencakup seluruh dataran tinggi Sinai, termasuk tempat yang akan kami lalui menuju kota Nuweiba. Itu sebabnya kami dipaksa memutar kembali ke hotel karena jalur yang kami lalui adalah jalur perang. Tidak main-main. Tentara suku Baduin dengan seenaknya menentang senjata AK 47 di depan polisi yang menjaga posnya dan para aparat itu tidak berani mengusiknya karena mengawal 4 kepala suku yang datang ke hotel kami.
Sudah dua jam kami menunggu dan diputuskan bahwa semua rombongan wisatawan yang melewati daerah perang akan berjalan konvoi dan dikawal tentara Baduin. Terus terang kami semua takut karena suasana yang sangat mencekam dan serba berubah dengan cepat. Sebentar disusuh siap-siap lalu menit kemudian disuruh kembali ke posisi semula. Para perwakilan tentara dan orang-orang Beduin bersenjata itu masing-masing sibuk dengan telepon genggamnya.
Akhirnya kami diputuskan berangkat. Enam mobil akan konvoi dan pemimpin Beduian dengan senjata AK47-nya memimpin di depan. Dalam keadaan tegang dan pasrah pada pimpinan Tuhan, kami tinggalkan lereng Sinai menuju Nuweiba. Perjalanan sejauh 25 km itu menjadi terasa sangat lama dan menegangkan. Selain sebentar-sebentar berhenti untuk mengecheck suasana aman, para pengawal itu menelepon pemimpin suku di wilayah itu supaya mobil kami tidak ditembaki. Sesekali dari jauh terdengar suara rentetan senjata. Dan itu semakin menambah ketegangan. Belum lagi sikap polisi di sepanjang jalan yang berusaha menahan rombongan kami agar tidak melanjutkan perjalanan. Selalu terjadi perdebatan dan suara yang keras. Sungguh menakutkan suasananya. Sepanjang jalan tersebut kami semua berdoa, bernyanyi dan menyembah Tuhan. Tapi anehnya, walaupun ada ketakutan, kami semua benar-benar pasrah dan tenang di dalam hadirat Tuhan. Saya masih ingat lagu yang berulang kali dinyanyikan, “Kau slalu punya cara untuk menolongku. Kau slalu punya jalan keajaibanMu. Kau dahsyat dalam segala perbuataMu. Dan ku tenang di dalam caraMu.” Terus terang, baru kali ini juga sepanjang saya menjadi pembimbing rohani ke tanah suci, melalui pengalaman menegangkan karena suasana perang.
Sedikit demi sedikit kami melewati daerah perang itu. Suara senjata terdengar sporadis. Mobil berhenti sesaat kemudian melaju dengan kencang. Di titik tertentu, mobil berhenti. Tentara dan polisis berdebat dengan Beduian dan senjata dikeluarkan. Demikian terus berulang. Dan kami tetap berdoa karena percaya akan pimpinan dan penyertaan Tuhan. Dari Jakarta saya mendapat sms yang ikut menenangkan kami karena setiap perkembangan situasi perlu kami laporkan ke Jakarta.
Sungguh luar biasa jika kita di dalam Tuhan. Saya melihat seluruh peserta tetap tenang dan percaya akan pertolongan Tuhan. Meskipun terlihat kuatir, kami semua kompak berdoa hingga akhirnya bus tiba dengan selamat di kota Nuweiba, tempat kami beristirahat untuk lunch. Saya ingat janji Tuhan kepada bangsa Israel bahwa Dia akan menghalau musuh-musuh mereka, seperti itulah yang juga kami dapatkan dalam perjalanan ini. Bahkan yang jauh lebih luar biasa adalah iman kami diuji melalui suasana yang membahayakan dan menakutkan itu, terutama seberapa jauh kami memiliki hati yan termotivasi untuk mencari Tuhan di dalam perjalanan ziarah kali ini. Dan terbukti, Tuhan menghalau semua musuh itu. Dalam doa di tengah zona perang itu, kami nyanyikan lagu profetik tentang perlindungan Tuhan, “Walau seribu rebah disisiku, Kau tetaplah Allah penolongku. Walau sepuluh ribu rebah di kananku, takkan ku goyah, sebab Yesus sertaku.” Lagu itu membuat ketakutan kami menyingkir dan iman kami tentang pertolongan Tuhan semakin kuat. Kami tahu bahwa kami aman di dalam tanganNya !
Setiba di Yerusalem, malam itu kamu saksikan di CNN bahwa Cairo kembali dilanda kerusuhan dan Tuhan telah meluputkan kami dari semua bahaya tersebut. Dampaknya sungguh luar biasa dalam perjalanan ziarah kami di Jerusalem dan Tiberias. Lawatan Tuhan selalu terjadi disetiap tempat ziarah. Hingga hari terakhir di Israel, kembali ujian menghadang langkah kaki kami sewaktu meninggalkan Israel. Kami diberitahu bahwa seluruh pegawai di Israel sedang mogok kerja, termasuk pegawat perbatasan. Artinya, untuk keluar Israel akan antri panjang atau bahkan perbatasan ditutup sama sekali. Artinya lagi, semua rencana di Jordania akan tertunda bahkan gagal sama sekali.
Apa yang kami lakukan? Kalau Tuhan saja bisa menjaga kami dari perang saat memasuki Israel, maka kami percaya, keluar Israel-pun akan Tuhan jaga dan buat lancar semuanya. “Tuhan, ketika nanti kami tiba di perbatasan, kami percaya semua pegawai sudah bekerja kembali dan proses di border bisa berjalan dengan lancar,” demikian saya memimpin semua peserta duduk diam minta pertolongan Tuhan. Dua jam sebelum tiba di border kami masih mendapat laporan bahwa pemogokan belum selesai. Sungguh luar biasa cara kerja Tuhan. Jam 12 waktu Israel pemogokan selesai dan kami memasuki border pukul 14. Apa yang ada di sana? Suasana yang sepi. Tidak ada penumpukan kendaraan, tidak ada pemogokan dan kami melintasi perbatasan dengan indah. Haleluya…
Semua pengalaman ini rupanya tidak melenceng dari highlight group kali ini yakni Living Consistently with God. Kami semua benar-benar dilatih secara nyata untuk bergantung dan hidup konsisten di dalam membangun hubungan dengan Tuhan. Saya percaya bahwa semua pengalaman ini mengandung maksud yang selaras dengan tema tersebut. Di akhir perjalanan di Gunung Nebo, saya ulang kembali pesan Tuhan bagi seluruh peserta untuk Living Consistently in Him yakni, membutuhkan Tuhan, memprioritaskan Tuhan dan finishing well di dalam memenuhi panggilan-Nya. Amin ya amin….!
BEBERAPA hari sebelum berangkat menuju tanah perjanjian, saya menerima pesan dari seorang teman yang memberikan ayat sebagai hasil doanya. Terus terang sewaktu menerima ayat itu, hati saya tidak terlalu senang karena ayat itu bicara tentang perlindungan Tuhan dari musuh. Merasa tidak memiliki musuh, saya mengabaikannya begitu saja dan lebih fokus pada persiapan perjalanan ke Holyland. Rombongan kali ini termasuk istimewa karena terdiri dari 14 pasangan suami isteri (keluarga muda) dan 4 orang peserta single. Di malam keberangkatan menuju Holyland, kami berdoa di bandara memohon pimpinan dan pertolongan Tuhan agar perjalanan ini disertai Tuhan dan kami semua mendapatkan berkat-berkat rohani yang luar biasa. Kelak, doa dan ayat tersebut terbukti adanya. Kami benar-benar merasakan proteksi nyata dari Tuhan secara luar biasa.
Hari pertama kami menginjakkan kaki di Mesir dan melalukan kunjungan ke sejumlah gereja bersejarah di kota tua Mesir dan sekitarnya. Setelah melewatkan satu malam di negara yang sedang mengalami kekacauan politik itu, kami melanjutkan tour ke Piramid dan sekitarnya. Usai makan siang, bus kami melajut meninggalkan kota itu menuju gurun Sinai. Kami memutuskan mendaki tengah malam agar bisa menyaksikan sun rising. Di atas gunung Sinai, kami sempat mengadakan doa pujian dan penyembahan dan semua peserta dilawat Tuhan. Hadira Tuhan sangat terasa dengan kuat. Siapa yang tidak kenal gunung itu. Di dalam PL disebut sebagai gunung Tuhan, tempat dimana Musa berhadapan muka dengan Tuhan dan turun dengan membawa ‘mandat’ dari Tuhan. Kamipun percaya bahwa di atas gunung itu kami telah mengalami perjumpaan dengan-Nya dan turun membawa mandat. Kami turun dengan hati yang penuh sukacita. Hari sudah agak siang sewaktu tiba di Morgen Land Hotel dan usai breakfast kami langsung check out menuju perbatasan Israel. Dari sinilah pengalaman itu dimulai, 4 Pebruari 2012.
Ada sekitar 3 bus besar yang sehotel dengan kami dan 2 bus wisatawan kecil. Satu persatu mereka meninggalkan hotel menuju kota Nuweiba, dekat perbatasan Taba, Israel. Bus kami termasuk bus ketiga yang meninggalkan hotel. Kami semua bersukacita walaupun kelelahan akibat mendaki Sinai.
Sekitar dua kilometer kami berjalan, dari arah berlawanan, terlihat banyak bus dan mobil yang berbalik arah dan melambaikan tangan ke arah driver bus yang kami tumpangi untuk segera memutar haluan. Mula-mula, driver yang juga keturunan Beduin itu cuek saja. Tetapi semakin banyak yang berbalik arah, atas inisiatip sendiri, akhirnya kamipun balik arah kembali menuju hotel, dengan sikap penuh tanda tanya. Di belokan menuju hotel, terdapat pos polisi dan tentara Mesir yang biasanya digunakan untuk checking penumpang. Tapi betapa terkejutnya. Setiba di pos polisi tersebut, tentara dengan senjata penuh sudah menunggu berikut ambulance yang bersiaga dekat pos. Polisi berpakaian sipil sibuk mengarahkan bus dan mobil, kembali ke arah hotel. Sungguh aneh. Sesuatu pasti terjadi. Di tengah ketidakjelasan, kamipun mengikuti arahan tersebut kembali ke hotel di kaki gunung Sinai. Ternyata disana, sudah berkumpul sejumlah besar bus dan wisatawan. Kami diperintahkan secara militer bahwa tidak boleh meninggalkan lokasi sampai pemberitahuan lebih lanjut. Seluruh lokasi tersebut ternyata ‘siaga perang’. Saya tahu semua rombongan berada di dalam ketakutan dan tekanan. Tetapi sebagai pembimbing rohani, saya mengajak seluruh peserta berdoa mohon perlindungan Tuhan dari marabahaya dan penjagaan Tuhan serta keselamatan agar kami semua bisa segera keluar dari situasi perang yang serba tidak menentu di tempat tersebut. “Kita barusan mengalami perjumpaan dengan Tuhan dan tiba saatnya kita menggunakan pengalaman rohani itu untuk memperkuat kita di dalam menghadapi situasi yang sedang berkembang disekitar kita. Tuhan selalu melindungi anak-anakNya dan tidak pernah membiarkan mereka,” demikian saya menenangkan peserta yang sebetulnya memperlihatkan wajah penuh kekuatiran.
Satu jam kemudian, semakin banyak orang berkumpul di lapangan hotel dan kami mendapat kejelasan bahwa sejak malam sebelumnya, sedang terjadi ketegangan antara tentara Mesir dan masyarakat Beduin yang memang mayoritas menetap di gurun Sinai. Masalahnya adalah, masyarakat Beduin ini memiliki hukum sendiri dan punya senjata. Kekerabatan di antara mereka sangat tinggi. Begitu mendengar bahwa saudara sesuku mereka sedang bermasalah dengan tentara di satu wilayah, maka mereka juga akan melakukan perlawanan di wilayahnya masing-masing. Akibatnya, zona perang menjadi luas dan mencakup seluruh dataran tinggi Sinai, termasuk tempat yang akan kami lalui menuju kota Nuweiba. Itu sebabnya kami dipaksa memutar kembali ke hotel karena jalur yang kami lalui adalah jalur perang. Tidak main-main. Tentara suku Baduin dengan seenaknya menentang senjata AK 47 di depan polisi yang menjaga posnya dan para aparat itu tidak berani mengusiknya karena mengawal 4 kepala suku yang datang ke hotel kami.
Sudah dua jam kami menunggu dan diputuskan bahwa semua rombongan wisatawan yang melewati daerah perang akan berjalan konvoi dan dikawal tentara Baduin. Terus terang kami semua takut karena suasana yang sangat mencekam dan serba berubah dengan cepat. Sebentar disusuh siap-siap lalu menit kemudian disuruh kembali ke posisi semula. Para perwakilan tentara dan orang-orang Beduin bersenjata itu masing-masing sibuk dengan telepon genggamnya.
Akhirnya kami diputuskan berangkat. Enam mobil akan konvoi dan pemimpin Beduian dengan senjata AK47-nya memimpin di depan. Dalam keadaan tegang dan pasrah pada pimpinan Tuhan, kami tinggalkan lereng Sinai menuju Nuweiba. Perjalanan sejauh 25 km itu menjadi terasa sangat lama dan menegangkan. Selain sebentar-sebentar berhenti untuk mengecheck suasana aman, para pengawal itu menelepon pemimpin suku di wilayah itu supaya mobil kami tidak ditembaki. Sesekali dari jauh terdengar suara rentetan senjata. Dan itu semakin menambah ketegangan. Belum lagi sikap polisi di sepanjang jalan yang berusaha menahan rombongan kami agar tidak melanjutkan perjalanan. Selalu terjadi perdebatan dan suara yang keras. Sungguh menakutkan suasananya. Sepanjang jalan tersebut kami semua berdoa, bernyanyi dan menyembah Tuhan. Tapi anehnya, walaupun ada ketakutan, kami semua benar-benar pasrah dan tenang di dalam hadirat Tuhan. Saya masih ingat lagu yang berulang kali dinyanyikan, “Kau slalu punya cara untuk menolongku. Kau slalu punya jalan keajaibanMu. Kau dahsyat dalam segala perbuataMu. Dan ku tenang di dalam caraMu.” Terus terang, baru kali ini juga sepanjang saya menjadi pembimbing rohani ke tanah suci, melalui pengalaman menegangkan karena suasana perang.
Sedikit demi sedikit kami melewati daerah perang itu. Suara senjata terdengar sporadis. Mobil berhenti sesaat kemudian melaju dengan kencang. Di titik tertentu, mobil berhenti. Tentara dan polisis berdebat dengan Beduian dan senjata dikeluarkan. Demikian terus berulang. Dan kami tetap berdoa karena percaya akan pimpinan dan penyertaan Tuhan. Dari Jakarta saya mendapat sms yang ikut menenangkan kami karena setiap perkembangan situasi perlu kami laporkan ke Jakarta.
Sungguh luar biasa jika kita di dalam Tuhan. Saya melihat seluruh peserta tetap tenang dan percaya akan pertolongan Tuhan. Meskipun terlihat kuatir, kami semua kompak berdoa hingga akhirnya bus tiba dengan selamat di kota Nuweiba, tempat kami beristirahat untuk lunch. Saya ingat janji Tuhan kepada bangsa Israel bahwa Dia akan menghalau musuh-musuh mereka, seperti itulah yang juga kami dapatkan dalam perjalanan ini. Bahkan yang jauh lebih luar biasa adalah iman kami diuji melalui suasana yang membahayakan dan menakutkan itu, terutama seberapa jauh kami memiliki hati yan termotivasi untuk mencari Tuhan di dalam perjalanan ziarah kali ini. Dan terbukti, Tuhan menghalau semua musuh itu. Dalam doa di tengah zona perang itu, kami nyanyikan lagu profetik tentang perlindungan Tuhan, “Walau seribu rebah disisiku, Kau tetaplah Allah penolongku. Walau sepuluh ribu rebah di kananku, takkan ku goyah, sebab Yesus sertaku.” Lagu itu membuat ketakutan kami menyingkir dan iman kami tentang pertolongan Tuhan semakin kuat. Kami tahu bahwa kami aman di dalam tanganNya !
Setiba di Yerusalem, malam itu kamu saksikan di CNN bahwa Cairo kembali dilanda kerusuhan dan Tuhan telah meluputkan kami dari semua bahaya tersebut. Dampaknya sungguh luar biasa dalam perjalanan ziarah kami di Jerusalem dan Tiberias. Lawatan Tuhan selalu terjadi disetiap tempat ziarah. Hingga hari terakhir di Israel, kembali ujian menghadang langkah kaki kami sewaktu meninggalkan Israel. Kami diberitahu bahwa seluruh pegawai di Israel sedang mogok kerja, termasuk pegawat perbatasan. Artinya, untuk keluar Israel akan antri panjang atau bahkan perbatasan ditutup sama sekali. Artinya lagi, semua rencana di Jordania akan tertunda bahkan gagal sama sekali.
Apa yang kami lakukan? Kalau Tuhan saja bisa menjaga kami dari perang saat memasuki Israel, maka kami percaya, keluar Israel-pun akan Tuhan jaga dan buat lancar semuanya. “Tuhan, ketika nanti kami tiba di perbatasan, kami percaya semua pegawai sudah bekerja kembali dan proses di border bisa berjalan dengan lancar,” demikian saya memimpin semua peserta duduk diam minta pertolongan Tuhan. Dua jam sebelum tiba di border kami masih mendapat laporan bahwa pemogokan belum selesai. Sungguh luar biasa cara kerja Tuhan. Jam 12 waktu Israel pemogokan selesai dan kami memasuki border pukul 14. Apa yang ada di sana? Suasana yang sepi. Tidak ada penumpukan kendaraan, tidak ada pemogokan dan kami melintasi perbatasan dengan indah. Haleluya…
Semua pengalaman ini rupanya tidak melenceng dari highlight group kali ini yakni Living Consistently with God. Kami semua benar-benar dilatih secara nyata untuk bergantung dan hidup konsisten di dalam membangun hubungan dengan Tuhan. Saya percaya bahwa semua pengalaman ini mengandung maksud yang selaras dengan tema tersebut. Di akhir perjalanan di Gunung Nebo, saya ulang kembali pesan Tuhan bagi seluruh peserta untuk Living Consistently in Him yakni, membutuhkan Tuhan, memprioritaskan Tuhan dan finishing well di dalam memenuhi panggilan-Nya. Amin ya amin….!
Komentar
Posting Komentar