SIAPAKAH YESUS DAN APAKAH KARYANYA?
-
Sebuah
refleksi kritis Kristologi Alkitabiah -
Oleh
: Ps. Sonny Eli Zaluchu, M.Th, D.Th
Alumnus Program Pascasarjana STBI Semarang
(ijin kutipan diberikan dengan mencantumkan sumber)
Dua hal yang sangat penting dalam hal kristologi
adalah adalah siapakah Kristus (pribadiNya) dan apakah yang menjadi rencanaNya
di dalam dunia (karyaNya). Keberadaan Yesus ditegaskan oleh Alkitab sebagai
Allah yang menjelma menjadi manusia[1], dan menjadi bagian dari
rencana Allah untuk membawa manusia berada di dalam hidup yang kekal.[2] Tetapi seiring dengan
berjalannya waktu, dari sejak Yesus datang dan melayani ke dalam dunia, hingga
abad 21 ini, selalu saja terjadi kontroversi dan perdebatan yang tidak pernah
selesai tentang Kristus. Pokok perdebatan itu berkisar tentang siapakah sebetulnya
Yesus Kristus itu. Betulkah Ia adalah Allah yang menjelma menjadi manusia?
Ataukah manusia di atas rata-rata karena kodrat ilahi di dalam diriNya? Ataukah
Ia benar-benar Allah yang seolah-olah terlihat seperti manusia?
A. Potret
Kristus yang Salah
Sorotan terhadap pribadi Kristus dari masa ke
masa tidak pernah selesai. Perdebatan mengenai keilahian Kristus, selalu
mewarnai diskusi para teolog, mulai dari kalangan paling Injili hingga mereka
yang berpaham liberal. Tidak jarang dalam perdebatan itu, Kristologi disusun
terlalu jauh melenceng dari apa yang Alkitab saksikan tentang Yesus, sehingga
melahirkan pendapat yang salah tentang Kristus dan pengajaran-pengajaran yang
bersifat menyesatkan (bidat). Hal ini terjadi karena manusia mencoba memahami
Kritus menggunakan argumen-argumen teologis yang berpusat pada intelektual,
pengalaman, filsafat bahkan rasionalitas.
Berikut ini tinjauan singkat tentang
perkembangan pemikiran Kristologi di dalam sejarah kekristenan.
Abad 2-4 M
Abad kedua hingga keempat masehi, diwarnai
dengan perdebatan-perdebatan awal mengenai Kristologi oleh para tokoh gereja
dan teolog mula-mula. Puncaknya adalah disingkirkannya sejumlah ajaran bidat
dan disepakatinya rumusan Chalcedon (451 M) sebagaikerangka utama gereja di
dalam memandang Kristus. Di dalam abad-abad awal ini bermunculan sejumlah
ajaran yang antara lain[3]:
Doketisme,
sebuah paham yang menghilangkan kemanusiaan Kristus dan memandang bahwa Yesus
hanya terlihat menyerupai manusia. Akibatnya Allah dianggap tidak sungguh-sungguh
datang kepada manusia karena dibangun dalam sebuah pandangan bahwa materi pada
hakikatnya jahat dan bahwa Allah tidak memiliki perasaan dan pengalaman
manusiawi;
Ebionisme,
gerakan dari cabang Kristen Yahudi yang menghapuskan sama sekali keilahian
Kristus dan menganggap Yesus adalah manusia biasa, anak Yusuf dan Maria,
seperti kebanyakan manusia lainnya. Keistimewaannya adalah dia diangkat dalam
derajat yang lebih tinggi daripada manusia lainnya, sebagai Mesias oleh Allah
dan diurapi dalam pembaptisan di sungai Yordan oleh Yohanes;
Gnostik,
paham yang mengatakan bahwa Kristus turun dari surga dan kemudian menggabungkan
diri dengan Yesus historis. Saat di salib, Kristus kemudian meninggalkan Yesus
dan membiarkannya menderita, mati sendirian. Paham ini mengajarkan bahwa Yesus
cuma manusia biasa dan bukan Allah;
Arianisme,
ajaran yang dipelopori oleh Arius, seorang imam dari Alexandria Mesir. Arian
mengajarkan bahwa Kristus tidak ada sebelumnya dan kehadiranNya adalah karena
diciptakan. Dalam keadaan diciptakan itu, Yesus disebut Anak, Logos, Awal Ciptaan Allah. Tetapi meski Anak disebut
Allah, Dia bukanlah Allah. Dia sekedar makhluk ciptaan saja. Pandangan ini
menyangkal keilahian Yesus dan kesetaraanNya dengan Bapa dan Roh Kudus.
Apolinarisme,
dirumuskan oleh Apolinaris, uskup dari Laodekia. Ajaran ini mengatakan bahwa
Anak Allah menempati tubuh manusia sehingga Kristus tidak memiliki kodrat
manusia sepenuhnya. Anak Allah yang kekal itu mendukung roh atau pikiran Yesus
Kristus. Tubuh dan jiwanya merupakan bagian dari kemanusiaan sedangkan Anak
yang Kekal adalah bagian dari keilahiannya. Ajaran ini menyangkal totalitas
manusia di dalam Kristus dan dianggap menyesatkan karena menyangkal bahwa Allah
benar-benar menjadi manusia.
Nestorian,
adalah ajaran Nestorius yang menjadi uskup Konstantinopel. Pengajarannya fokus
pada kemanusiaan Yesus dan memisahkan kedua kodrat di dalam diri Yesus. Dia
menekankan bahwa di dalam diri Yesus terdapat kepribadian ganda dan menyangkali
bahwa ada kesatuan nyata antara hakikat kemanusiaan dan keilahian Yesus. Dia
menjadikan Kristus sebagai manusia yang dipenuhi Roh, dipenuhi Allah, tetapi
tanpa keilahian dan kemanusiaan sejati di dalam satu pribadi.
Kaum Eutikhes.
Berlawanan dengan Nestorian, mengajarkan tentang kesatuan pribadi Kristus.
Walaupun ada dua kodrat sebelum penjelmaan, hanya ada satu kodrat gabungan dan
menjadi hakikat ketiga. Kodrat gabungan ini membuat Kristus memiliki satu
kehendak dan satu hakikat di dalam ‘hakikat’ yang ketiga tersebut. Pengajaran
ini menekankan hakikat ketiga itu adalah campuran hakikat ilahi dan hakikat
manusia di dalam satu pribadi Kristus.
Ajaran demi ajaran yang kemudian dikenal
sebagai bidat ini, terjadi karena gereja pada waktu itu masih belum memiliki
rumusan baku Kristologi. Baru setelah melalui dua konsili, Konsili Nicea (325
M) dan konsili Konstantinopel (381 M), pandangan resmi gereja tentang Kristus
dirumuskan di Chalcedon. Rumusan itu menegaskan Kristologi Alkitabiah yang
menyebutkan, Yesus Kristus adalah satu, tetapi Ia memiliki dua sifat, yaitu
yang Ilahi dan yang manusiawi. Dia adalah Allah sejati dan manusia sejati,
terdiri atas tubuh dan jiwa yang rasional. Ia sehakikat dengan Bapa dalam
keAllahanNya dan sehakikat dengan manusia dalam kemanusianNya, kecuali dosa.
Dalam keAllahanNya ia sudah ada bersama Bapa sebelum dunia dijadikan dan dalam
kemanusiaanNya Ia lahir dari perawan Maria. Perbedaan dari kedua tabiat
tersebut tidak berkurang ketika dipersatukan, namun keistimewaan masing-masing
tabiat itu tetap terpelihara sekalipun disatukan di dalam diri Yesus Kristus.
Yesus tidak terbagi menjadi dua pribadi; Ia adalah satu pribadi, yaitu Anak
Allah.[4]
Abad Pertengahan
Penegasan ortodoks dari konsili Chalcedon
tidak menyurutkan perdebatan tentang keilahian dan kemanusiaan Kristus. Di abad
pertengahan (14 s.d 15 M) muncul dua kontroversi yakni monophysitisme dan monothelitisme.
Monophysitisme menolak konsep Kristologi Chalcedon
dan mengajarkan bahwa Kristus hanya memiliki satu sifat ilahi. Pengajaran ini
juga menekankan bahwa sifat Kristus dilebur menjadi satu dimana sifat Ilahinya
telah mengalahkan sifat insaninya.[5] Pengajaran ini cenderung
ke arah Apolinaris.
Sedangkan monothelitisme mengajarkan bahwa
Kristus hanya memiliki satu kehendak yang menggantikan kedua sifatNya. Tetapi
ajaran ini ditolak karena bukan saja menolak sifat ganda Kristus tetapi juga
merendahkan keilahianNya. Sifat Ilahi dan sifat manusia Kristus telah saling
melebur menjadi bentuk ketiga yakni enegi Ilahi, yang menjadi satu kehendak
Kristus.[6]
Reformasi
Di masa reformasi, dua tokohnya yang terkenal
Mathin Luther dan John Calvin juga merumuskan pandangannya tentang Kristologi.
Meskipun menerima rumusan Chlacedon, Luter menganggap bahwa kedua sifat Yesus
tersebut saling melebur sehingga terjadi penonjolan sifat keilahiannya. Calvin
menolak pandangan Luther tersebut. Menurutnya kedua sifat itu tidak saling
bercampur tetapi menyatu di dalam satu pribadi Kristus. Calvin menolak
pandangan Nestorian dan Eutyches sebagaimana diteruskan oleh para pengikutnya
hingga sekarang.[7]
Abad Sembilan Belas
Tantangan paling utama muncul di abad
sembilan belas ketika para teolog liberal mulai menanamkan pengaruhnya.
Orang-orang seperti Schleiermacher, Kant, Hegel, Ritschl dan Bath adalah
pelopor Kristologi liberal dimana dasar teologi dan hermeneutik dari biblikal
induktif diganti menjadi deduktif-subjektik filosofis, sebuah pendekatan
subjektif menggunakan filsafat deduktif untuk merumuskan doktrin teologis,
termasuk di dalamnya tentang Kristus dan karyaNya.[8] Fenomena ini dikokohkan
dengan lahirnya Jesus Seminar yang merendahkan keilahian Kristus ketika mereka
mempublikasikan The Five Gospel tahun 1993.[9] Seorang mantan imam Jesuit
bahkan mengatakan bahwa Yesus tidak pernah menegaskan dirinya sebagai Tuhan
atau Kristus atau jalan menuju Tuhan. Hal yang pasti adalah bahwa Yesus tidak
pernah sedikitpun memberikan tanda bahwa ia telah hidup sebelum ia dilahirkan.[10] Kristologi di abad
kesembilan belas tampaknya bergeser dari pendekatan biblikal kepada pendekatan
rasional dan mengusung tema utama, menggugat keilahian Kristus.
Abad Keduapuluh dan Keduapuluh Satu
Akhir abad dua puluh dan awal abad ke dua
puluh satu, Kristologi Alkitabiah mengalami goncangan dengan munculnya berbagai
pengajaran liberal melalui sejumlah publikasi prosa dan ilmiah-historis dan
bentuk-bentuk baru dalam teologi. Agendanya tetap sama yakni menolak keilahian
Kristus bahkan mengakui adanya jalur keselamatan lain di luar Kristus. Trend
yang menguat adalah membuat pemisahan yang sangat dikotomi antara Yesus sejarah
dengan Yesus iman bahkan memisahkan secara kontras sifat keilahian dari Yesus
sejarah. Gerakan pluralisme menjadi salah contoh dari bentuk baru berteologi
yang mencoba mempersempit bahkan mereduksi makna Kristologi. Melalui paham ini,
terjadi sejumlah kompromi teologis dimana Yesus tidak lagi dianggap dan
diperlakukan sebagai satu-satunya juru selamat dunia. Para penganutnya (dari kalangan
Kristen) membuka diri terhadap kebenaran yang ada di dalam agama-agama lain.[11]
Perkembangan yang paling mengegerkan adalah
bermunculannya karya sastra dan salah satunya adalah publikasi novel The Da Vinci Code yang terang-terangan
mendepak keilahian Yesus dan mengeksploitasi penelitian sejarah sepihak
penulisnya, bahwa Yesus adalah manusia biasa yang menikah dengan Maria
Magdalena dan memiliki garis keturunan.[12] Kristologi biblika
semakin mendapat tantangan keras dengan terbitnya sejumlah Injil gnostik di
luar kanon PB seperti Injil Thomas, Injil Filipus, Injil Yesus, dsb. Bukan
hanya itu, di abad ini juga, dunia teologis dikejutkan dengan publikasi film dokumenter
dua orang yang bekerja sama membongkar dan melalukan penyelidikan terhadap
sebuah makam yang awalnya ditemukan di musim semi tahun 1980. Makam itu dikenal
dengan makam Talpiot yang belakangan diketahui memuat sepuluh osuarium[13] dan enam di antaranya
memiliki prasasti. Di antara prasasti itu ditemukan satu prasasti yang memuat
tulisan “Yesus, putra Yosef”.[14] Penemuan ini menghebohkan
karena seolah-olah membuktikan bahwa Yesus bukanlah Allah. Berarti Dia tidak
bangkit dari kematian bahkan tidak terangkat ke surga. Fakta keilahian Yesus, yakni
hakekat Allah di dalam diriNya, dijungkirbalikkan; sebaliknya, hakikat
kemanusiaan Yesus sejarah dimunculkan dengan kuat.
Perkembangan yang mencolok di abad 21 dalam
hal Kristologi adalah, adanya usaha menarik batas yang tegas antara Yesus
sejarah (yang pernah hidup di dunia) dengan Yesus iman yang diyakini sebagai
Kristus oleh orang-orang Kristen dewasa ini. Salah seorang diantaranya adalah
James D. Tabor yang mencoba merekonstruksi Yesus sejarah sebagai sosok manusia
biasa yang pernah hidup.[15] Dalam rekonstruksinya,
Tabor sama sekali menyingkirkan mujizat-mujizat di dalam pelayanan Yesus,
kelahirannya dari perawan Maria dan kebangkitanNya.[16] Bagi kebanyakan sarjana yang
berorientasi liberal, muncul anggapan bahwa Kristologi adalah pemisahan Yesus
sejarah dengan bahasa teistik yang selama ini membungkus pribadi Yesus bahwa ia
adalah Allah yang menjelma ke dalam dunia, menjadi manusia.[17] Agendanya cuma satu,
menentang kodrat ilahi Yesus. Para teolog liberal ini mungkin lupa bahwa
Alkitab memiliki bukti-bukti biblis yang paling kuat, yang menjamin keilahian
Kristus. Pertama adalah bukti pra-eksistensinya. Bukti ini mengagas ide bahwa
Yesus sudah ada sebelum kelahiranNya.”Sebelum Abraham ada, Aku ada” (Yohanes
8:58). Bukti kedua adalah peristiwa kelahiranNya yang ditandai dengan kunjungan
Gabriel (supernatural) kepada perawan Maria (Lukas 1:26-38). Proses kelahiran
ini sebagai akibat campur tangan ilahi dan bukan tindakan biologis manusia. Ketiga
adalah kuasa ilahi Yesus dimana Injil mencatat bagaimana Ia melakukan
tanda-tanda ajaib dan heran (menyembuhkan sakit penyakit, mengusir setan,
membangkitkan orang mati, membuat mujizat) bahkan berkuasa mengampuni dosa
manusia (Markus 2:8-11). Bukti keempat adalah kemuliaan ilahi yang menyertaiNya
(penyataan kemuliaanNya) di atas sebuah gunung di depan mata ketiga orang
muridNya (Markus 9:2-13). Kelima adalah tentang makna Yohanes 5:22 ketika Dia
berkata, “Bapa menyerahkan penghakiman itu seluruhnya kepada Anak” Hal ini
adalah sebuah deklarasi bahwa Yesus melakukan apa yang hanya bisa dilakukan
Bapa, yakni mengadili dan menghakimi. Bukti ketujuh menjadi pelengkap penting,
bahwa Yesus memiliki gelar ilahi yang menunjukkan satu kesadaran ilahi di dalam
diriNya. Satu bukti terakhir yang tak terbantahkan adalah kuasa kebangkitanNya
dari kematian yang hanya bisa dilakukan oleh Allah dan bukan oleh manusia.[18]
B. Alkitab
Sebagai Landasan Kristologi
Beragamnya konsep Kristologi seperti di
uraikan di atas menjelaskan bahwa dari masa ke masa, perdebatan tentang
eksistensi Yesus Kristus tidak pernah selesai. Selalu terdapat perdebatan dan
pertentangan teologis, baik di lingkup kaum awam, terlebih di kalangan para
teolog yang berasal dari berbagai latar belakang berbeda. Kendati terdapat
sejumlah pandangan kritis tentang keilahianNya, berbagai pendapat dan
investigasi mengenai Yesus sejarah tidak pernah mampu mengubah fakta bahwa
Yesus adalah manusia sejati dan juga Allah sejati. Inilah yang menjadi dasar
bangunan teologi tentang Kristus yang dipertahankan gereja dan diterima sebagai
satu-satunya kebenaran mutlak hingga kini.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa
perbedaan demi perbedaan itu dapat terjadi? Jawabannya terletak sumber primer apa
yang dipergunakan untuk menelaah Kristus.
Mencermati perkembangan Kristologi dari masa
ke masa mengarahkan kita pada satu hal bahwa penggalian dan investigasi tentang
pribadi Kristus yang menolak kredibilitas dan kesaksian Alkitab, hanya akan
mengarahkan kita pada pengaburan makna dari pribadi Yesus yang sesungguhnya dan
kemudian menghasilkan potret Kristus yang salah. Sebaliknya, penelitian yang
seksama tentang kesaksian Alkitab dalam PL dan PB, akan mengarah siapapun
menemukan fakta keilahian dan kemanusiaan Kristus melalui nubuatan, kesaksian
para nabi, ungkapan para penulis Injil dan surat-surat rasul Paulus, bahkan kesaksian
Yesus sendiri tentang siapakah diriNya. Di dalam Alkitab, terdapat berbagai
fakta, kesaksian dan catatan otentik yang mendukung pernyataan tentang jati diri
Kristus yang sesungguhnya. Dengan demikian, Alkitab adalah dasar pijakan yang
seharusnya digunakan untuk membangun teologi tentang Kristus. Bukan justru menggunakan
filsafat, konsep gnostik atau pengetahuan dan rasionalitas manusia yang selama
ini terbukti gagal melihat sisi keilahian Kristus. Selama Alkitab digunakan
sebagai dasar Kristologi, maka jalur untuk mencari jawaban yang benar mengenai
siapakah Yesus sesunguhnya, baik di dalam PL[19] maupun di dalam PB[20], akan terbuka lebar.
C. Siapakah
Yesus?
Akhirnya,
melalui beberapa catatan ringkas yang telah disinggung di atas mengenai pribadi
Kristus sebagai manusia dan Allah, mengarahkan kita pada satu kesimpulan
seperti di tegaskan di dalam 1 Timotius 3:16, tentang “Dia, yang telah
menyatakan diri-Nya dalam rupa manusia” memberikan kesaksian kepada kita bahwa Yesus
adalah benar-benar Allah yang “walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap
kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya
sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan
manusia. Dan dalam keadaan sebagai
manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati
di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan
kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut
segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi,
dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi
kemuliaan Allah, Bapa!” (Filipi 2:6-11).
Mendukung finalitas Kristus, Milne mengatakan, keilahian Yesus
Kritus merupakan dasar pokok bagi kepercayaan bahwa penyataan Kristen bersifat
akhir dan penyelamatan Kristen adalah sejati. Milne berargumen, jika bukan
Allah sendiri yang datang kepada kita dalam Kristus (yang membuktikan dirinya
mati di salib, bangkit dan naik ke surga), maka penyataan yang dibawaNya
bukanlah penyataan terakhir dan mungkin masih akan diganti dengan yang lain.[21] Inilah yang menjadi dasar
Kristologi sejati. Sebuah Kristologi yang dibangun bukan atas dasar teori,
filsafat atau pemahaman intelektual manusia; melainkan yang dibangun atas
kesaksian Alkitab.
D. Keselamatan
sebagai Karya Kristus
Sebuah
pertanyaan penting untuk di jawab, "Tetapi apa katamu, siapakah Aku
ini?" (Matius 16:19). Petrus dengan tepat menjawab pertanyaan itu dengan
mengatakan, "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!" Dua
hakikat Yesus, sebagai manusia sejati dan Allah sejati, terlihat di dalam kalimat
jawaban Petrus tersebut. Pertanyaannya adalah, mengapa Yesus disebut Mesias?
Apakah Mesias? Apakah maksud kedatanganNya di dunia?
Akibat manusia pertama jatuh di dalam dosa,
maka hubungan Allah dengan manusia menjadi rusak. Sebelum kejatuhan, Allah dan
Adam bersekutu satu sama lain; setelah kejatuhan, persekutuan itu putus.[22] Manusia akhirnya berada
dalam penghukuman kekal. Dosa telah mengikat segala aspek kehidupan manusia,
sejak kejatuhan pertama di dalam taman Eden, sehingga manusia tidak dapat
menolong dirinya sendiri dan diluar Kristus dinyatakan mati atas pelanggaran
dan dosa-dosanya.[23] Orang yang mati secara
rohani tidak mampu memberi keselamatan bagi dirinya sendiri.[24] Untuk itu, manusia perlu
dipulihkan, baik hubungannya dengan Allah maupun statusnya secara rohani. Sejak
kejatuhan, dosa telah menjadi bagian dari manusia di dalam dunia. Alkitab
mengajarkan bahwa semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan
Allah.[25] Inilah yang menjadi alasan
mengapa Yesus datang ke dalam dunia.
Harus dipahami bahwa karya Allah bagi manusia
ini bukan hanya terfokus pada menciptakan manusia dan memeliharanya, tetapi
juga menyelamatkan manusia yang berdosa itu dari hukuman kekal.[26] Rencana penyelamatan
disusun dengan melibatkan anak tunggal-Nya, yaitu Yesus Kristus, untuk mati
menggantikan pada pendosa.[27] Rencana Allah tersebut
adalah sebuah anugerah keselamatan dengan tujuan persekutuan manusia dengan
Allah dapat kembali dipulihkan.[28] Stot menegaskan bahwa
melalui salib, Ia mengambil tempat kita, menanggung dosa kita, membayar hutang
kita dan mati ganti kita.[29]
Kematian Yesus Kristus melalui salib adalah
sebuah anugerah yang sama sekali tidak bergantung dari usaha manusia tetapi
semata-mata inisiatif Allah. Cara kerjaNya di dalam mewujudkan keselamatan itu,
ketika disusun, seimbang dan menyeluruh, artinya, tidak ditujukan hanya kepada
sekelompok tertentu (dalam hal ini Israel) tetapi kepada seluruh manusia yang
meliputi orang Kristen, hingga ke bangsa-bangsa. Orang-orang tersebut sebetulnya
sudah dipersiapkan Allah di dalam kekekalan. Tetapi Allah memberikan kepada
mereka kebebasan
untuk kemudian memberi respon terhadap keselamatan yang sudah Allah sediakan melalui Kristus. Allah dalam hal ini rela menunggu sampai orang tersebut sungguh-sungguh sadar
dan mengalami pertobatan.
Kebebasan tersebut (free will) tidak
pernah melampauhi kewenangan, kedaulatan dan penetapan dari Allah. Dalam hal
ini, keselamatan adalah anugerah dan setiap orang dituntut memberikan respon
untuk mengambil anugerah itu.
Dari sini dapat ditarik sebuah kesimpulan
bahwa sebetulnya karya Kristus di dalam dunia mencakup dua hal utama,
keselamatan itu terjadi karena kasih Allah (Yohanes 3:16) dan penebusan salib
bersifat final yang sudah selesai dikerjakanNya. Artinya, karya keselamatan itu
telah dilakukan. Segala yang diperlukan untuk keselamatan manusia telah
terlaksana dan dipenuhi oleh Yesus di Kalvari.[30] Itu sebabnya Yesus
disebut mesias, karena Dia adalah orang yang diurapi (anointed) untuk menjadi
juru selamat umatNya.[31]
E. Aplikasi
dalam Pelayanan
Jawaban
tentang siapakah Kristus dan apakah yang menjadi karyaNya di dalam dunia,
melalui refleksi ini, membangun satu paradigma yang makin kuat, kokoh dan tak
tergoncangkan, di dalam diri saya bahwa itu harus diberitakan dan dibela terus
menerus. Keilahian dan kemanusiaan Kristus adalah sesuatu yang tidak bisa di
tawar lagi dan finalitas karyaNya tidak bisa diganggu-gugat. Trend perkembangan
teologi Kristus mungkin akan bergerak semakin cepat ke arah yang bertentangan
dengan iman Kristen biblikal. Yang menjadi tantangan utamanya, adalah melakukan
pemberitaan yang selalu didasarkan pada kesaksian Alkitab dan pembelaan iman
Kristen melalui apologetika.
Secara
praktis, saya akan menjadikan isu Kristologi Alkitabiah menjadi tema sentral di
dalam penginjilan kepada jiwa-jiwa baru. Karyanya yang sudah final di atas kayu
salib menjadi pokok pemberitaan kabar baik bagi setiap orang, bahwa tersedia
keselamatan kekal yang harus direspon oleh manusia. Bagi mereka yang sudah
percaya dan menerima karya keselamatanNya, tuntutan untuk menghargai karya itu
melalui tanggung jawab dan kehidupan rohani yang lebih baik, adalah sebuah
keharusan dan keteladanan bagi dunia. Bagi mereka yang belum mengenal Dia,
keselamatan itu menjadi tema pewartaan supaya setiap orang menjadi selamat.
Pesan
yang harus disampaikan di dalam setiap kesempatan bersaksi adalah, “Yesus
Kristus hadir di dalam dunia sebagai penyataan diri Allah Anak dalam bentuk
manusia, dikandung oleh kuasa Roh Kudus dan dilahirkan oleh perawan Maria. Ia
adalah Allah sejati dan manusia sejati, sebagai Tuhan, Juruselamat, Nabi, Imam
Besar dan Raja”.
Komentar
Posting Komentar