Air menjadi Anggur: Mustahil atau Tidak Mustahil?
Dunia mengajar kita perihal kemustahilan. Ada hal-hal tertentu di dalam dunia ini yang tidak dapat mengalami perubahan. Terlebih jika melibatkan logika dan pengetahuan, kita akan semakin diteguhkan bahwa apa yang semula diciptakan ‘seperti itu’ tidaklah mungkin berubah menjadi yang lain. Misalnya kejadian air berubah menjadi anggur. Dimana-mana, pakar pengetahuan modern akan menyangkal peristiwa tersebut atau menolak kemungkinan terjadinya. Dengan demikian, kita juga mengerti bahwa besi tidak mungkin berubah menjadi emas; lembaran kaca berubah jadi bahan makanan yang lezat dan kertas koran berubah menjadi duit ratusan juta rupiah. Tetapi persoalannya adalah, logika pengetahuan seringkali mewarnai pertumbuhan rohani kita. Maka tidak mengherankan jika kita berada di dalam sebuah situasi dan kondisi tertentu, yang muncul bukanlah tanggapan atas dasar iman percaya akan kuasa Tuhan melainkan menggunakan ‘kacamata’ dunia untuk menilai pekerjaan atau perkara rohani yang terjadi. Seperti halnya terjadi di Kana, dimana Yesus melakukan mujizatNya yang pertama, bagi orang-orang tertentu, kejadian itu cuma dongeng pelipur lara yang menghiburkan. Pengetahuan tidak mampu menjelaskan atau tidak memberi peluang yang membenarkan kejadiannya. Tetapi itulah yang terjadi. Air menjadi anggur dan kita percaya Injil ! Apa yang tidak mungkin bagi dunia, mungkin bagi Tuhan. Apa yang mustahil bagi manusia, tidak mustahil bagi Tuhan. Maka ketika, saat membaca artikel ini, sedang berada di dalam kungkungan kemustahilan, kita perlu langkah-langkah rohani supaya mujizat air jadi anggur (baca: kemustahilan berubah menjadi ketidakmustahilan) menjadi pengalaman baru bagi kita bersama Yesus.
Perikop Yohanes 2:1-11
Pada hari ketiga ada perkawinan di Kana yang di Galilea, dan ibu Yesus ada di situ; Yesus dan murid-murid-Nya diundang juga ke perkawinan itu. Ketika mereka kekurangan anggur, ibu Yesus berkata kepada-Nya: "Mereka kehabisan anggur." Kata Yesus kepadanya: "Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? Saat-Ku belum tiba." Tetapi ibu Yesus berkata kepada pelayan-pelayan: "Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!" Di situ ada enam tempayan yang disediakan untuk pembasuhan menurut adat orang Yahudi, masing-masing isinya dua tiga buyung. Yesus berkata kepada pelayan-pelayan itu: "Isilah tempayan-tempayan itu penuh dengan air." Dan merekapun mengisinya sampai penuh. Lalu kata Yesus kepada mereka: "Sekarang cedoklah dan bawalah kepada pemimpin pesta." Lalu merekapun membawanya. Setelah pemimpin pesta itu mengecap air, yang telah menjadi anggur itu--dan ia tidak tahu dari mana datangnya, tetapi pelayan-pelayan, yang mencedok air itu, mengetahuinya--ia memanggil mempelai laki-laki, dan berkata kepadanya: "Setiap orang menghidangkan anggur yang baik dahulu dan sesudah orang puas minum, barulah yang kurang baik; akan tetapi engkau menyimpan anggur yang baik sampai sekarang." Hal itu dibuat Yesus di Kana yang di Galilea, sebagai yang pertama dari tanda-tanda-Nya dan engan itu Ia telah menyatakan kemuliaan-Nya, dan murid-murid-Nya percaya kepada-Nya.
Bahan Renungan Kita
Kehabisan Anggur. Persoalan penting di dalam perikop itu sangat jelas. Ada sebuah pesta perkawinan dan mereka kekurangan atau bahkan kehabisan anggur. Tradisi perkawinan Yahudi mengenai pernikahan adalah berlangsung meriah, mengundang orang banyak dan berlangsung beberapa hari (enam sampai sepuluh hari). Orang yang diundang ke pesta pernikahan mendapat undangan dua kali. Pertama jauh-jauh hari sebelum pernikahan berlangsung (surat undangan) dan mendekat hari pelaksanaan, seorang utusan akan dikirim keliling untuk mengingatkan orang-orang yang diundang supaya dating ke pesta. Betapa pentingnya dan terhormatnya seseorang yang diundang ke sebuah pesta perjamuan (topic ini akan kita bicarakan lain kesempatan). Tentu saja tuan rumah akan merasa terhormat juga jika pestanya berlangsung meriah, ramai dan dihadiri oleh semua undangan. Coba dibayangkan, tiba-tiba di tengah pesta, pemimpin pesta member warning yang mendebarkan hati, “persediaan anggur menipis” Tentu saja tuan rumah dibuat kebingungan karena pesta belum usai. Adalah sesuatuyang sangat memalukan jika pesta besar seperti itu ternyata tidak mampu menyuguhi tamu-tamunya dengan anggur (minuman anggur adalah sebuah suguhan kehormatan waktu itu). Kita saja kalau datang ke pesta pernikahan dan punya pengalaman buruk akibat pelayanan yang kurang memuaskan di sana, keesokan harinya satu gereja sudah tahu ceritanya. Makanannya kurang enaklah, pesta terlalu lama-lah, dsb. Seringkali kita berada di dalam situasi yang sama. Pesta itu kekurangan atau kehabisan anggur. Kita mungkin kehabisan atau kekurangan sesuatu. Dan hal tersebut menjadi masalah buat kita, terlebih jika situasi dan kondisi tertentu membuat kita panik dan tidak punya jalan pemecahan. Biasanya respon kita kuatir, takut, terus menerus memikirkannya, dan berpikir terminal (berpikir singkat atau jalan pintas). Hal-hal seperti itu, jika terjadi di dalam kehidupan ini, sering membuat kita jauh dari Tuhan atau bahkan mempertanyakan Tuhan. Saya selalu berkata bahwa masalah akan selalu ada selama manusia hidup. Hanya orang mati yang tidak punya masalah. Perspektif kitalah yang perlu diubahkan mengenai keberadaan masalah. Sama seperti kejadian di Kana, masalah mereka adalah kekurangan anggur. Dalam perspektif yang benar, masalah justru batu loncatan bagi kita untuk naik level, dimana Tuhan sedang membentuk nilai-nilai di dalam diri kita, menguji kesetiaan kita pada campur tangan Allah dan menjadi pintu bagi terjadinya mujizat! Kita diingatkan bahwa pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa (Alkitab Vulgata menulisnya humana – yang wajar dialami oleh manusia selama manusia itu hidup), yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya. (1 Korintus 10:13).
Komentar
Posting Komentar