PETRA: THE RED ROSE CITY (Catatan Perjalanan)
Artikel di bawah ini versi asli
Versi yang sudah terbit dapat dibaca di HARIAN SUARA MERDEKA Minggu 4 Mei 2008 atau ke http://gaya.suaramerdeka.com/index.php?id=188
Dalam sebuah perjalanan ke Timur Tengah saya singgah di Yordania dan menggunakan kesempatan itu untuk mengunjungi Petra, kota batu karang berwarna merah mawar, yang beberapa waktu lalu menjadi satu dari tujuh keajaiban dunia terbaru. Lepas apakah survey tersebut disahkan oleh UNESCO atau tidak, bagi saya, Petra adalah sebuah keajaiban. Mengapa? Bangunan tersebut mampu bertahan sangat lama, tak tersentuh modernitas dan merupakan hasil penguasaan teknologi, yang pada ukuran zaman itu, sangat luar biasa. Petra adalah parade bangunan megah dan kokoh yang terletak di dalam gugusan batu karang yang dibangun di dalam jajaran pegunungan yang membentuk sayap Timur dari Wadi Araba Yordania, sebuah lembah besar yang terdiri dari karang dan batu cadas, yang terbentang antara Laut Mati hingga teluk Aqaba, kota pelabuhan Yordania. Bangunan batu karang ini tepatnya berada di antara sebuah jalur perdagangan kuno yang menghubungkan wilayah Arab (Timur Tengah) dengan Mediteran (Eropa) dan antara Mesir dengan Mesopotamia. Lebih luar biasanya, Petra adalah bangunan-bangunan yang ‘dipahat’ di dalam batu karang dan menjulang tinggi hingga mencapai ketinggian 40 meter. Ruangan di dalam bangunan ini dibentuk dari penggalian dan pahatan yang sangat rapi dan profesional, masuk sampai ke dalam pegunungan batu cadas. Memasuki ruangan yang ada di dalam pegunungan batu cadas ini akan membuat siapapun merasakan kemegahan dan kekuatan dari sebuah maha karya dari masa lalu dari sebuah bangsa yang sudah punah. Petra, sebagaimana namanya yang berarti batu karang, adalah sebuah kota yang berdiri dan dibentuk di dalam batu karang.
Lebih bagus jalan kaki
Bus yang saya tumpangi harus menempuh jarak sekitar 5 jam perjalanan dari Amman, ibu kota Yordania menuju situs arkeologi Petra. Setiba di lokasi, sebagaimana lazimnya daerah wisata di Timur Tengah lainnya, di sana terdapat banyak kuda dan kereta kuda yang ditawarkan untuk membawa pengunjung masuk sejauh 1,5 kilometer ke dalam lokasi, melewati celah-celah batu raksasa. Sebaiknya bila anda menggunakan jasa mereka, berhati-hati dan harus membuat kesepakatan harga di depan. Dengan sikap sangat murah hati khas Timur Tengah, para joki ini akan mempersilahkan anda naik begitu saja. Naik gratis tetapi turun, mbayar. Sampai di lokasi, uang dollar anda akan dikuras habis. Mereka akan merubung dan berteriak-teriak sampai anda memberikan ‘upah’ yang cukup besar.
Di sana ada dua jalur yang memang secara khusus dibangun oleh pemerintah Yordania, yaitu jalur bagi pejalan kaki dan jalur bagi kuda. Hanya saja, karena berada di wilayah padang pasir, kondisi jalan di 250 meter pertama, sangat berdebu. Dianjurkan untuk memakai masker atau penutup hidup. Para joki yang naik kuda atau kereta kuda, tidak akan mempedulikan kenyamanan anda dan harus mengijinkannya melintas dengan kecepatan tinggi. Karena baru pertama kali ke sana dan memiliki tujuan lain untuk liputan jurnalistik dan foto buat kalender, saya memilih berjalan kaki.
Melewati celah batu cadas
Pemandangan pertama yang menarik adalah keberadaan obelisk atau disebut juga tugu batu di sebelah kanan jalan. Tiang ini menandai bangunan kuburan (tomb) yang udah ada di sana sejak awal abad pertama Sebelum Masehi. Daerah itu merupakan wilayah pekuburan kuno. Di bagian sebelah kiri jalan, terdapat beberapa gua yang dipahat di dalam gunung cadas yang berubah fungsi menjadi kuburan para serdadu Romawi sewaktu menguasai kota ini pada tahun 106 M.
Juga terdapat daerah ranch kuda dan keledai milik Ratu Alia (isteri dari Raja Abdullah yang saat ini memerintah Yordania) yang digunakan untuk perawatan dan pembibitan. Melangkah lebih dalam, pemandangan menjadi berubah lebih sejuk. Udara yang semula panas menyengat berubah menjadi dingin. Setelah melewati daerah padang gurun, sisa perjalanan menuju Petra adalah celah-celah di dalam dan di antara dinding batu cadas gunung. Dulu jalan ini sempit dan hanya bisa dilalui seukuran badan kuda. Jika melihat ke atas, ujung batu cadas di dalam celah itu bisa setinggi 30 sampai 40 meter, sehingga sinar matahari terhalang. Tetapi sekarang, Pemerintah Yordania sudah melakukan penggalian dan melebarkan jalan hingga 3 – 4 meter. Kereta kuda dapat lalu lalang dengan cepat.
Juga dalam ‘gang’ cadas tersebut disediakan kursi kursi kayu sebagai tempat perhentian untuk beristirahat. Perjalanan ke dalam badan gunung ini seolah tiada akhir dan berbelok-belok, bahkan cenderung membosankan bagi yang tidak terbiasa. Setiap belokan hanya memperlihatkan dinding batu yang keras dan menjulang tinggi. Sama sekali tidak terlihat ada tanaman rumput atau pepohonan. Tetapi yang paling menarik adalah ukiran alam terhadap batu batu cadas tersebut menampilkan berbagai pola abstrak yang sangat indah. Belum lagi ditambah kontras antara wilayah gelap dan terang pada celah-celah batu karang, seolah menempatkan kita berada di dalam perjalanan perenungan kehidupan.
Saya selalu berpikir bahwa di belokan berikutnya, perjalanan akan berakhir. Tetapi ternyata tidak. Setiap belokan hanya akan menghasilkan belokan dan dinding batu. Demikian seterusnya, hingga setelah berjalan selama 45 menit, saya baru menemukan seberkas cahaya di ‘ujung’ lorong. Di balik belokan terakhir itulah, saya dapat melihat dengan jelas tampak depan kota Petra yang terkenal itu. ‘Lorong’ itu berakhir di sebuah daerah padang gurun yang luas dan penuh dengan bangunan megah. Akhirnya sampai juga. Ujung lorong yang sangat terkenal di dalam sejarah, dipakai dalam berbagai shooting film dokumenter, juga film komersil seperti Indiana Jones dan film film bertema keagamaan. Saya berhenti sejenak di belokan terakhir, mencoba menikmati pemandangan yang setiap orang rindu mengalaminya sewaktu mengunjungi Petra.
Sungguh luar biasa. Sebuah bangunan megah, dengan enam pilar besar-besar, tiga di kanan dan tiga di kiri, terpampang di depan mata. Bangunan yang terpahat di dalam batu karang ini terlihat sangat besar dan kokoh serta bertingkat. Orang-orang menjadi terlihat sangat kecil dibandingkan dengan ukuran bangunan atau pilarnya. Betapa hebatnya orang-orang yang merancang dan membuat bangunan tersebut. Mereka adalah orang-orang Nabatean. Itu sebabnya Petra dikenal juga dengan nama The Nabatean City.
Arsitektur Kuno Nabatean
Pada mulanya, orang-orang Nabatean ini, adalah suku bangsa nomaden yang berasal dari dataran Arab. Mereka tidak punya tempat tinggal tetap. Asal usul mereka juga tidak jelas. Meskipun mereka dikenal sebagai peternak kambing, domba dan kuda, kehebatan suku Nabatean ini terletak pada penguasaan teknologi pengairan dan ketrampilan tangan. Dimanapun mereka menetap, mereka mampu menemukan sumber air dan mendistribusikannya dengan sangat baik termasuk di dalamnya teknik penyimpanan air bersih. Daerah pegunungan cadas di Petra menjadi pilihan tempat tinggal karena letaknya sangat strategis, mampu menjadi benteng pertahanan dan aman dari ancaman banjir serta badai pasir padang gurun.
Petra menjadi ibu kota kerajaan Nabatean. Suku ini membangun dengan arsitektur yang sangat khas dan tak tertandingi hingga sekarang. Pada waktu itu, jumlah mereka di sana mencapai 50 ribu jiwa. Daerah batu karang dengan pegunungan cadas itu ‘disulap’ menjadi bangunan-bangunan tempat tinggal. Mereka memahat langsung ke dinding gunung dan membuat ruangan-ruangan dengan sangat rapi di dalamnya. Saluran-saluran air yang dibuat oleh suku ini, masih terlihat di sekitar Petra dan sangat terawat, sama seperti bangunan-bangunan hasil pahatan yang masih terlihat kokoh dan tidak rapuh. Kota ini sangat besar. Dari ujung ke ujung terlihat deretan gedung dan rumah di dinding batu. Berjalan makin ke ujung, terdapat sebuah sisa-sisa teater Romawi yang memiliki daya tampung 6000 seats. Bangsa Nabateans terkenal pintar berdagang. Mereka menguasai jalur perdagangan trans Jordan dan mengenakan pajak bagi pedagang yang melintasi wilayah mereka.
Arsitektur Romawi sangat mempengaruhi bentuk kota ini. Setelah bertahan menjadi kota perdagangan dan sebagai ‘jalan sutra’ trans Timur Tengah dari tahun 9 SM hingga tahun 40 M, Romawi akhirnya berhasil menaklukan kota ini di tahun 100 M. Itu sebabnya, gaya Romawi banyak mendominasi wajah kota dan sebagian dari bangunan-bangunan itu menjadi pekuburan tentara, yang dibangun menyusul di awal abad pertama Masehi.
The Lost City
Petra sempat menjadi kota yang hilang (The Lost City). Keberadaan kota ini, yang juga dikenal sebagai Red Rose City (karena terlihat berwarna merah pada waktu terik matahari), baru mencuat ke dunia internasional setelah laporan seorang petualang muda Swiss tahun 1812, Johann Ludwig Burckhardt, yang datang ke kota itu setelah melatih diri berbahasa Arab dan menyamar sebagai seorang Syekh Arab. Pada waktu itu, puing-puing Petra dihuni oleh suku lokal, Beduin yang anti pendatang. Gambar pertama Petra kemudian dipublikasikan oleh seorang bansawan Perancis, Leon de Laborde yang melakukan perjalanan kesana tahun 1828 dalam bentuk lithographs. Tetapi publikasi paling indah dari penemuan dan ekspedisi tentang Petra dibuat oleh lukisan litografi petualang Inggris, David Roberts sewaktu ia melakukan perjalanan ziarah ke situs situs di tanah suci tahun 1839. Sejak perhatian dunia tertuju ke kota itu, Pemerintah Yordania hingga kini terus melakukan restorasi, perawatan dan berbagai pembenahan untuk menjadikannya sebagai salah satu tempat tujuan wisata Internasional.
Di pintu masuk depan, pengunjung ditarik retribusi masuk dan selalu diawasi oleh petugas keamanan. Hanya saja, fasilitas umum seperti toilet, masih kurang memadai dan bahkan terkesan jorok. Berbeda dengan wilayah Arab lainnya, para pedagang souvenir yang mencari untung di wilayah wisata ini, memajang tenda-tenda dagangan mereka dengan tertib dan itupun hanya di jalan masuk dan dilokasi Petra sendiri. Kita bisa berjalan sendiri dan menikmati jalan dengan aman sambil menikmati ‘lukisan’ abstrak alam yang terbentuk dari mineral-mineral bebatuan yang ada di batu cadas tersebut sebagai hasil pengikisan air dan angin ribuan tahun silam, tanpa merasa terganggu oleh para pedagang. Hanya jika membeli souvenir, maka kita harus pintar-pintar menawar hingga 75% dari harga jual.
Lukisan Dalam Botol
Rasanya, seluruh kota belum terjelajah tetapi hari sudah mulai sore. Apa yang dikatakan banyak orang soal Red Rose City, saya buktikan sendiri. Kota itu terlihat merah dalam cahaya matahari sore. Jangan lupa sebelum meninggalkan Petra, ada sebuah souvenir khas yang ‘wajib’ anda miliki yakni lukisan di dalam botol. Lukisan padang pasir yang sangat indah ini tidak terdapat di daerah lain dan dilukis menggunakan pasir berwarna, yang dikerjakan dengan sangat terampil dan hati-hati. Polanya dibentuk melalui lem kemudian sang pelukis akan mengucurkan pasir sesuai warna yang dikehendaki, lapis demi lapis hingga seluruh botol dipenuhi dengan pasir padang pasir, kemudian dipadatkan. Pola paling rumit sekalipun dapat mereka kerjakan dengan tekun, hanya dalam waktu paling lama satu jam. Untuk sebuah lukisan botol kecil setinggi 18 cm kita mengganti ongkos setelah ditawar cuma U$ 2 saja. Mulanya mereka mematok harga hingga U$ 15.
Saya kembali ke penginapan, ke sebuah perkampungan yang menjadi kota kecil, di tengah gurun Araba, tempat paling dekat untuk mengakses Petra. Di depan hotel berbintang 4 tersebut, terdapat sebuah bangunan bersejarah yang ketika memasukinya, hanya berupa selokan yang dialiri air. Di pojok bangunan itu ada sebuah batu, yang mana pernah dipukul oleh Nabi Musa sehingga mengeluarkan air bagi kebutuhan bangsa Israel dalam perjalanan mereka menuju Canaan Land. Itu sebabnya, kota itu disebut Wadi Musa Town. Saya lama duduk dan merenung di sana hingga tengah malam. Bukan cuma karena percaya air itu punya khasiat tetapi saya merasakan kuasa mujizat di tempat itu sungguh sungguh nyata, mujizat pemeliharaan Allah bagi setiap orang yang percaya padaNya. (Sonny Eli Zaluchu)
Kolom:
MOUNT NEBO MEMORIAL PARK
Pernah mendengar nama Gunung Nebo? Itu adalah gunung – yang terletak di dataran tinggi trans Yordan -- dimana Nabi Musa meninggal dunia. Di atas puncak gunung itu, Musa pernah berdiri di atas puncaknya memandang tanah perjanjian, ketika Allah bangsa Israel mengatakan kepada Musa bahwa dirinya cuma melihat Tanah Kanaan (Canaan Land) dan tidak akan pernah memasukinya. Cuma melihat dan tidak diijinkan memasuki, adalah sebuah ironi. Puncak tempat dimana Musa berdiri itu sekarang dikenal dengan nama Siyagha Peak.
Gunung Nebo berada di dalam wilayah kerajaan Yordania. Dari ibu kota Amman, kita dapat menempuh perjalanan sejauh 25 miles menggunakan bus dan melewati jalan yang berkelok-kelok naik ke atas ke ketinggian 804 meter dari permukaan laut. Bus parkir agak jauh di bawah. Kita perlu berjalan kaki menuju puncak gunung, tentu saja setelah membeli pas masuk. Di sepanjang jalan menuju puncak Nebo, pemerintah Yordania telah menanam pohon-pohon pinus sehingga suasana menjadi teduh. Ada sebuah monumen yang didirikan untuk memperingati tempat itu pada tahun 2000 yang lalu. Sebelum sampai ke puncak gunung, karena Gunung Nebo adalah tempat ziarah suci bagi tiga agama yang diakui oleh pemerintah kerajaan Yordania (Isalam, Kristen dan Yahudi), terpampang sebuah pengumuman untuk mengormati kesucian tempat itu. Sebaiknya anda mengenakan pakaian yang rapi dan tidak memperlihatkan aurat. Jika tidak, maka petugas keamanan yang berjaga di gerbang, akan melarang anda masuk. Karena puncak gunung ini berada beberapa ratus meter di atas permukakan laut, kita perlu membawa jaket. Walaupun terik, tetapi udara sangat dingin.
Dari atas puncak gunung ini, jika udara bersih dan tanpa debu, kita dapat menikmati pemandangan ke arah padang gurun Araba, melihat bentangan Laut Mati dari ujung ke ujung dan menyaksikan wilayah-wilayah kota di Israel. Bahkan juga terlihat kota Bethlehem dan dataran rendah lembah Jordan yang sangat terkenal subur itu. Deretan panjang pegunungan Yudea dan Samaria menjadi latar belakang di kejauhan.
Selain melihat panorama yang sangat indah dari puncak gunung Nebo, di sana juga kita dapat menemukan reruntuhan gereja abad pertama yang kemudian di restorasi oleh pemerintah Yordania bekerjasama dengan negara negara Barat. Sisa-sisa lantai berupa mozaik-mozaik yang sangat indah, masih dapat kita jumpai. Beberapa kali di tempat itu, dibangun Chapel dan Gereja tetapi hancur oleh waktu dan zaman. Bahkan tangan-tangan jahat para pemburu barang antik sempat ‘menggerayangi’ situs tersebut. Itu sebabnya mozaik-mozaik yang tersisa sudah tidak utuh lagi karena dicungkil dengan cara yang sangat kasar. Bangunan terakhir yang didirikan di sana, tahun 1933, tepat di atas fondasi basilika pertama, adalah seperti kita saksikan sekarang, sebuah gereja dan monastry milik Fransiscan. Merekalah yang memelihara tempat itu hingga sekarang. Gereja yang berbentuk seperti gudang besar ini, menyimpan banyak sekali hasil ekskavasi peninggalan sejarah gunung Nebo. Berbagai mozaik indah yang tersisa, dirawat dengan sangat baik di dalam gereja. Mozaik mozaik itu adalah sisa-sisa lantai gereja abad pertama dan abad Byzantium, yang pernah di bangun di tempat itu, kemudian hancur oleh peperangan dan tergerus zaman. Beberapa peninggalan lainnya hasil penggalian arkeologi, dapat kita jumpai di museum yang terletak di belakang gereja.
Di tepi gunung, ada sebuah menara besi besar yang menjulang tinggi ke langit, yang menampilkan ular yang sedang melilit sebatang kayu. Menara itu mengingatkan saya pada sebuah peristiwa di padang gurun yang dialami oleh bangsa Israel sewaktu terancam dipatuk oleh ular berbisa yang mematikan. Mereka selamat setelah mengarahkan matanya pada sebuah patung ular yang dibuat oleh Nabi Musa.
Yang menarik, kesatuan umat yang berbeda agama di tempat itu sangat terlihat. Di sana, di atas puncak Nebo, orang-orang Muslim, dan Kristen, berbaur jadi satu menjalankan ibadah mereka tanpa mengganggu dan merasa terganggu. Sikap yang perlu diteladani dari sebuah negara Muslim. Gunung Nebo adalah gunung dimana kesatuan agama sangat terpelihara. Itu sebabnya pada tahun 2000 lalu, dalam memperingati milenium, di pelataran gunung Nebo dibangun sebuah monolith setinggi 5.5 meter sebagai peringatan dan simbol perdamaian serta kerukunan antar umat beragama. Di sana ada tulisan God is Love dalam bahasa Yunani kemudian disambung dengan bahasa Latin yang artinya One God, Father of All, who is above all.
Versi yang sudah terbit dapat dibaca di HARIAN SUARA MERDEKA Minggu 4 Mei 2008 atau ke http://gaya.suaramerdeka.com/index.php?id=188
Dalam sebuah perjalanan ke Timur Tengah saya singgah di Yordania dan menggunakan kesempatan itu untuk mengunjungi Petra, kota batu karang berwarna merah mawar, yang beberapa waktu lalu menjadi satu dari tujuh keajaiban dunia terbaru. Lepas apakah survey tersebut disahkan oleh UNESCO atau tidak, bagi saya, Petra adalah sebuah keajaiban. Mengapa? Bangunan tersebut mampu bertahan sangat lama, tak tersentuh modernitas dan merupakan hasil penguasaan teknologi, yang pada ukuran zaman itu, sangat luar biasa. Petra adalah parade bangunan megah dan kokoh yang terletak di dalam gugusan batu karang yang dibangun di dalam jajaran pegunungan yang membentuk sayap Timur dari Wadi Araba Yordania, sebuah lembah besar yang terdiri dari karang dan batu cadas, yang terbentang antara Laut Mati hingga teluk Aqaba, kota pelabuhan Yordania. Bangunan batu karang ini tepatnya berada di antara sebuah jalur perdagangan kuno yang menghubungkan wilayah Arab (Timur Tengah) dengan Mediteran (Eropa) dan antara Mesir dengan Mesopotamia. Lebih luar biasanya, Petra adalah bangunan-bangunan yang ‘dipahat’ di dalam batu karang dan menjulang tinggi hingga mencapai ketinggian 40 meter. Ruangan di dalam bangunan ini dibentuk dari penggalian dan pahatan yang sangat rapi dan profesional, masuk sampai ke dalam pegunungan batu cadas. Memasuki ruangan yang ada di dalam pegunungan batu cadas ini akan membuat siapapun merasakan kemegahan dan kekuatan dari sebuah maha karya dari masa lalu dari sebuah bangsa yang sudah punah. Petra, sebagaimana namanya yang berarti batu karang, adalah sebuah kota yang berdiri dan dibentuk di dalam batu karang.
Lebih bagus jalan kaki
Bus yang saya tumpangi harus menempuh jarak sekitar 5 jam perjalanan dari Amman, ibu kota Yordania menuju situs arkeologi Petra. Setiba di lokasi, sebagaimana lazimnya daerah wisata di Timur Tengah lainnya, di sana terdapat banyak kuda dan kereta kuda yang ditawarkan untuk membawa pengunjung masuk sejauh 1,5 kilometer ke dalam lokasi, melewati celah-celah batu raksasa. Sebaiknya bila anda menggunakan jasa mereka, berhati-hati dan harus membuat kesepakatan harga di depan. Dengan sikap sangat murah hati khas Timur Tengah, para joki ini akan mempersilahkan anda naik begitu saja. Naik gratis tetapi turun, mbayar. Sampai di lokasi, uang dollar anda akan dikuras habis. Mereka akan merubung dan berteriak-teriak sampai anda memberikan ‘upah’ yang cukup besar.
Di sana ada dua jalur yang memang secara khusus dibangun oleh pemerintah Yordania, yaitu jalur bagi pejalan kaki dan jalur bagi kuda. Hanya saja, karena berada di wilayah padang pasir, kondisi jalan di 250 meter pertama, sangat berdebu. Dianjurkan untuk memakai masker atau penutup hidup. Para joki yang naik kuda atau kereta kuda, tidak akan mempedulikan kenyamanan anda dan harus mengijinkannya melintas dengan kecepatan tinggi. Karena baru pertama kali ke sana dan memiliki tujuan lain untuk liputan jurnalistik dan foto buat kalender, saya memilih berjalan kaki.
Melewati celah batu cadas
Pemandangan pertama yang menarik adalah keberadaan obelisk atau disebut juga tugu batu di sebelah kanan jalan. Tiang ini menandai bangunan kuburan (tomb) yang udah ada di sana sejak awal abad pertama Sebelum Masehi. Daerah itu merupakan wilayah pekuburan kuno. Di bagian sebelah kiri jalan, terdapat beberapa gua yang dipahat di dalam gunung cadas yang berubah fungsi menjadi kuburan para serdadu Romawi sewaktu menguasai kota ini pada tahun 106 M.
Juga terdapat daerah ranch kuda dan keledai milik Ratu Alia (isteri dari Raja Abdullah yang saat ini memerintah Yordania) yang digunakan untuk perawatan dan pembibitan. Melangkah lebih dalam, pemandangan menjadi berubah lebih sejuk. Udara yang semula panas menyengat berubah menjadi dingin. Setelah melewati daerah padang gurun, sisa perjalanan menuju Petra adalah celah-celah di dalam dan di antara dinding batu cadas gunung. Dulu jalan ini sempit dan hanya bisa dilalui seukuran badan kuda. Jika melihat ke atas, ujung batu cadas di dalam celah itu bisa setinggi 30 sampai 40 meter, sehingga sinar matahari terhalang. Tetapi sekarang, Pemerintah Yordania sudah melakukan penggalian dan melebarkan jalan hingga 3 – 4 meter. Kereta kuda dapat lalu lalang dengan cepat.
Juga dalam ‘gang’ cadas tersebut disediakan kursi kursi kayu sebagai tempat perhentian untuk beristirahat. Perjalanan ke dalam badan gunung ini seolah tiada akhir dan berbelok-belok, bahkan cenderung membosankan bagi yang tidak terbiasa. Setiap belokan hanya memperlihatkan dinding batu yang keras dan menjulang tinggi. Sama sekali tidak terlihat ada tanaman rumput atau pepohonan. Tetapi yang paling menarik adalah ukiran alam terhadap batu batu cadas tersebut menampilkan berbagai pola abstrak yang sangat indah. Belum lagi ditambah kontras antara wilayah gelap dan terang pada celah-celah batu karang, seolah menempatkan kita berada di dalam perjalanan perenungan kehidupan.
Saya selalu berpikir bahwa di belokan berikutnya, perjalanan akan berakhir. Tetapi ternyata tidak. Setiap belokan hanya akan menghasilkan belokan dan dinding batu. Demikian seterusnya, hingga setelah berjalan selama 45 menit, saya baru menemukan seberkas cahaya di ‘ujung’ lorong. Di balik belokan terakhir itulah, saya dapat melihat dengan jelas tampak depan kota Petra yang terkenal itu. ‘Lorong’ itu berakhir di sebuah daerah padang gurun yang luas dan penuh dengan bangunan megah. Akhirnya sampai juga. Ujung lorong yang sangat terkenal di dalam sejarah, dipakai dalam berbagai shooting film dokumenter, juga film komersil seperti Indiana Jones dan film film bertema keagamaan. Saya berhenti sejenak di belokan terakhir, mencoba menikmati pemandangan yang setiap orang rindu mengalaminya sewaktu mengunjungi Petra.
Sungguh luar biasa. Sebuah bangunan megah, dengan enam pilar besar-besar, tiga di kanan dan tiga di kiri, terpampang di depan mata. Bangunan yang terpahat di dalam batu karang ini terlihat sangat besar dan kokoh serta bertingkat. Orang-orang menjadi terlihat sangat kecil dibandingkan dengan ukuran bangunan atau pilarnya. Betapa hebatnya orang-orang yang merancang dan membuat bangunan tersebut. Mereka adalah orang-orang Nabatean. Itu sebabnya Petra dikenal juga dengan nama The Nabatean City.
Arsitektur Kuno Nabatean
Pada mulanya, orang-orang Nabatean ini, adalah suku bangsa nomaden yang berasal dari dataran Arab. Mereka tidak punya tempat tinggal tetap. Asal usul mereka juga tidak jelas. Meskipun mereka dikenal sebagai peternak kambing, domba dan kuda, kehebatan suku Nabatean ini terletak pada penguasaan teknologi pengairan dan ketrampilan tangan. Dimanapun mereka menetap, mereka mampu menemukan sumber air dan mendistribusikannya dengan sangat baik termasuk di dalamnya teknik penyimpanan air bersih. Daerah pegunungan cadas di Petra menjadi pilihan tempat tinggal karena letaknya sangat strategis, mampu menjadi benteng pertahanan dan aman dari ancaman banjir serta badai pasir padang gurun.
Petra menjadi ibu kota kerajaan Nabatean. Suku ini membangun dengan arsitektur yang sangat khas dan tak tertandingi hingga sekarang. Pada waktu itu, jumlah mereka di sana mencapai 50 ribu jiwa. Daerah batu karang dengan pegunungan cadas itu ‘disulap’ menjadi bangunan-bangunan tempat tinggal. Mereka memahat langsung ke dinding gunung dan membuat ruangan-ruangan dengan sangat rapi di dalamnya. Saluran-saluran air yang dibuat oleh suku ini, masih terlihat di sekitar Petra dan sangat terawat, sama seperti bangunan-bangunan hasil pahatan yang masih terlihat kokoh dan tidak rapuh. Kota ini sangat besar. Dari ujung ke ujung terlihat deretan gedung dan rumah di dinding batu. Berjalan makin ke ujung, terdapat sebuah sisa-sisa teater Romawi yang memiliki daya tampung 6000 seats. Bangsa Nabateans terkenal pintar berdagang. Mereka menguasai jalur perdagangan trans Jordan dan mengenakan pajak bagi pedagang yang melintasi wilayah mereka.
Arsitektur Romawi sangat mempengaruhi bentuk kota ini. Setelah bertahan menjadi kota perdagangan dan sebagai ‘jalan sutra’ trans Timur Tengah dari tahun 9 SM hingga tahun 40 M, Romawi akhirnya berhasil menaklukan kota ini di tahun 100 M. Itu sebabnya, gaya Romawi banyak mendominasi wajah kota dan sebagian dari bangunan-bangunan itu menjadi pekuburan tentara, yang dibangun menyusul di awal abad pertama Masehi.
The Lost City
Petra sempat menjadi kota yang hilang (The Lost City). Keberadaan kota ini, yang juga dikenal sebagai Red Rose City (karena terlihat berwarna merah pada waktu terik matahari), baru mencuat ke dunia internasional setelah laporan seorang petualang muda Swiss tahun 1812, Johann Ludwig Burckhardt, yang datang ke kota itu setelah melatih diri berbahasa Arab dan menyamar sebagai seorang Syekh Arab. Pada waktu itu, puing-puing Petra dihuni oleh suku lokal, Beduin yang anti pendatang. Gambar pertama Petra kemudian dipublikasikan oleh seorang bansawan Perancis, Leon de Laborde yang melakukan perjalanan kesana tahun 1828 dalam bentuk lithographs. Tetapi publikasi paling indah dari penemuan dan ekspedisi tentang Petra dibuat oleh lukisan litografi petualang Inggris, David Roberts sewaktu ia melakukan perjalanan ziarah ke situs situs di tanah suci tahun 1839. Sejak perhatian dunia tertuju ke kota itu, Pemerintah Yordania hingga kini terus melakukan restorasi, perawatan dan berbagai pembenahan untuk menjadikannya sebagai salah satu tempat tujuan wisata Internasional.
Di pintu masuk depan, pengunjung ditarik retribusi masuk dan selalu diawasi oleh petugas keamanan. Hanya saja, fasilitas umum seperti toilet, masih kurang memadai dan bahkan terkesan jorok. Berbeda dengan wilayah Arab lainnya, para pedagang souvenir yang mencari untung di wilayah wisata ini, memajang tenda-tenda dagangan mereka dengan tertib dan itupun hanya di jalan masuk dan dilokasi Petra sendiri. Kita bisa berjalan sendiri dan menikmati jalan dengan aman sambil menikmati ‘lukisan’ abstrak alam yang terbentuk dari mineral-mineral bebatuan yang ada di batu cadas tersebut sebagai hasil pengikisan air dan angin ribuan tahun silam, tanpa merasa terganggu oleh para pedagang. Hanya jika membeli souvenir, maka kita harus pintar-pintar menawar hingga 75% dari harga jual.
Lukisan Dalam Botol
Rasanya, seluruh kota belum terjelajah tetapi hari sudah mulai sore. Apa yang dikatakan banyak orang soal Red Rose City, saya buktikan sendiri. Kota itu terlihat merah dalam cahaya matahari sore. Jangan lupa sebelum meninggalkan Petra, ada sebuah souvenir khas yang ‘wajib’ anda miliki yakni lukisan di dalam botol. Lukisan padang pasir yang sangat indah ini tidak terdapat di daerah lain dan dilukis menggunakan pasir berwarna, yang dikerjakan dengan sangat terampil dan hati-hati. Polanya dibentuk melalui lem kemudian sang pelukis akan mengucurkan pasir sesuai warna yang dikehendaki, lapis demi lapis hingga seluruh botol dipenuhi dengan pasir padang pasir, kemudian dipadatkan. Pola paling rumit sekalipun dapat mereka kerjakan dengan tekun, hanya dalam waktu paling lama satu jam. Untuk sebuah lukisan botol kecil setinggi 18 cm kita mengganti ongkos setelah ditawar cuma U$ 2 saja. Mulanya mereka mematok harga hingga U$ 15.
Saya kembali ke penginapan, ke sebuah perkampungan yang menjadi kota kecil, di tengah gurun Araba, tempat paling dekat untuk mengakses Petra. Di depan hotel berbintang 4 tersebut, terdapat sebuah bangunan bersejarah yang ketika memasukinya, hanya berupa selokan yang dialiri air. Di pojok bangunan itu ada sebuah batu, yang mana pernah dipukul oleh Nabi Musa sehingga mengeluarkan air bagi kebutuhan bangsa Israel dalam perjalanan mereka menuju Canaan Land. Itu sebabnya, kota itu disebut Wadi Musa Town. Saya lama duduk dan merenung di sana hingga tengah malam. Bukan cuma karena percaya air itu punya khasiat tetapi saya merasakan kuasa mujizat di tempat itu sungguh sungguh nyata, mujizat pemeliharaan Allah bagi setiap orang yang percaya padaNya. (Sonny Eli Zaluchu)
Kolom:
MOUNT NEBO MEMORIAL PARK
Pernah mendengar nama Gunung Nebo? Itu adalah gunung – yang terletak di dataran tinggi trans Yordan -- dimana Nabi Musa meninggal dunia. Di atas puncak gunung itu, Musa pernah berdiri di atas puncaknya memandang tanah perjanjian, ketika Allah bangsa Israel mengatakan kepada Musa bahwa dirinya cuma melihat Tanah Kanaan (Canaan Land) dan tidak akan pernah memasukinya. Cuma melihat dan tidak diijinkan memasuki, adalah sebuah ironi. Puncak tempat dimana Musa berdiri itu sekarang dikenal dengan nama Siyagha Peak.
Gunung Nebo berada di dalam wilayah kerajaan Yordania. Dari ibu kota Amman, kita dapat menempuh perjalanan sejauh 25 miles menggunakan bus dan melewati jalan yang berkelok-kelok naik ke atas ke ketinggian 804 meter dari permukaan laut. Bus parkir agak jauh di bawah. Kita perlu berjalan kaki menuju puncak gunung, tentu saja setelah membeli pas masuk. Di sepanjang jalan menuju puncak Nebo, pemerintah Yordania telah menanam pohon-pohon pinus sehingga suasana menjadi teduh. Ada sebuah monumen yang didirikan untuk memperingati tempat itu pada tahun 2000 yang lalu. Sebelum sampai ke puncak gunung, karena Gunung Nebo adalah tempat ziarah suci bagi tiga agama yang diakui oleh pemerintah kerajaan Yordania (Isalam, Kristen dan Yahudi), terpampang sebuah pengumuman untuk mengormati kesucian tempat itu. Sebaiknya anda mengenakan pakaian yang rapi dan tidak memperlihatkan aurat. Jika tidak, maka petugas keamanan yang berjaga di gerbang, akan melarang anda masuk. Karena puncak gunung ini berada beberapa ratus meter di atas permukakan laut, kita perlu membawa jaket. Walaupun terik, tetapi udara sangat dingin.
Dari atas puncak gunung ini, jika udara bersih dan tanpa debu, kita dapat menikmati pemandangan ke arah padang gurun Araba, melihat bentangan Laut Mati dari ujung ke ujung dan menyaksikan wilayah-wilayah kota di Israel. Bahkan juga terlihat kota Bethlehem dan dataran rendah lembah Jordan yang sangat terkenal subur itu. Deretan panjang pegunungan Yudea dan Samaria menjadi latar belakang di kejauhan.
Selain melihat panorama yang sangat indah dari puncak gunung Nebo, di sana juga kita dapat menemukan reruntuhan gereja abad pertama yang kemudian di restorasi oleh pemerintah Yordania bekerjasama dengan negara negara Barat. Sisa-sisa lantai berupa mozaik-mozaik yang sangat indah, masih dapat kita jumpai. Beberapa kali di tempat itu, dibangun Chapel dan Gereja tetapi hancur oleh waktu dan zaman. Bahkan tangan-tangan jahat para pemburu barang antik sempat ‘menggerayangi’ situs tersebut. Itu sebabnya mozaik-mozaik yang tersisa sudah tidak utuh lagi karena dicungkil dengan cara yang sangat kasar. Bangunan terakhir yang didirikan di sana, tahun 1933, tepat di atas fondasi basilika pertama, adalah seperti kita saksikan sekarang, sebuah gereja dan monastry milik Fransiscan. Merekalah yang memelihara tempat itu hingga sekarang. Gereja yang berbentuk seperti gudang besar ini, menyimpan banyak sekali hasil ekskavasi peninggalan sejarah gunung Nebo. Berbagai mozaik indah yang tersisa, dirawat dengan sangat baik di dalam gereja. Mozaik mozaik itu adalah sisa-sisa lantai gereja abad pertama dan abad Byzantium, yang pernah di bangun di tempat itu, kemudian hancur oleh peperangan dan tergerus zaman. Beberapa peninggalan lainnya hasil penggalian arkeologi, dapat kita jumpai di museum yang terletak di belakang gereja.
Di tepi gunung, ada sebuah menara besi besar yang menjulang tinggi ke langit, yang menampilkan ular yang sedang melilit sebatang kayu. Menara itu mengingatkan saya pada sebuah peristiwa di padang gurun yang dialami oleh bangsa Israel sewaktu terancam dipatuk oleh ular berbisa yang mematikan. Mereka selamat setelah mengarahkan matanya pada sebuah patung ular yang dibuat oleh Nabi Musa.
Yang menarik, kesatuan umat yang berbeda agama di tempat itu sangat terlihat. Di sana, di atas puncak Nebo, orang-orang Muslim, dan Kristen, berbaur jadi satu menjalankan ibadah mereka tanpa mengganggu dan merasa terganggu. Sikap yang perlu diteladani dari sebuah negara Muslim. Gunung Nebo adalah gunung dimana kesatuan agama sangat terpelihara. Itu sebabnya pada tahun 2000 lalu, dalam memperingati milenium, di pelataran gunung Nebo dibangun sebuah monolith setinggi 5.5 meter sebagai peringatan dan simbol perdamaian serta kerukunan antar umat beragama. Di sana ada tulisan God is Love dalam bahasa Yunani kemudian disambung dengan bahasa Latin yang artinya One God, Father of All, who is above all.