FINISHING WELL
Artikel ini telah dimuat di Tabloid Keluarga Surabaya Edisi 32/ Agustus 2008
Dalam buku hasil penelitian yang ditulis oleh Dr. Robert Clinton, dia menemukan bahwa para tokoh di dalam Alkitab, ketika memulai perjalanan hidup dan pelayanannya bersama Tuhan, hanya sekitar 30% yang menyelesaikan semua tugas pelayanan itu dengan baik. Clinton menyebut mereka itu finishing well. Mereka mampu menyelesaikan dengan baik apa yang menjadi tugas pelayanan mereka dan membuat tuan mereka bersukacita karenanya. Kepada orang-orang yang seperti inilah berlaku perkataan, “masuklah dan turutlah di dalam kebahagiaan tuanMu”. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana dengan kita? Apakah kita juga mampu menyelesaikan apa yang menjadi tugas panggilan kita yang sudah menjadi destiny kita di dalam Tuhan. Apakah kita tergolong di dalam 70% yang gagal menyelesaikan pertandingan ataukah masuk di dalam kelompok 30% yang oleh Clinton disebut telah finishing well.
Dunia mengajarkan kepada kita untuk berlomba sedemikian rupa mengungguli yang lain. Kita berusaha menjadi nomor satu dan melakukan berbagai upaya, entah halal atau tidak, untuk unggul melebihi orang lain. Semua orang di dunia ini berusaha untuk menjadi yang terbaik, menjadi yang teratas, menjadi yang tercepat, bahkan menjadi sosok yang tak tertandingi. Seperti kata pepatah, hanya ada satu kursi di puncak, maka kita harus berusaha merebut dan mempertahankannya. Tanpa disadari, semangat untuk menduduki posisi yang terbaik seperti ini menjadi sebuah nilai di dalam kehidupan kita di dunia ini. Kita hidup di dalam budaya persaingan yang kita ciptakan sendiri. Baik dilingkungan pekerjaan, bisnis, studi bahkan di dalam pelayanan. Bagi orang-orang tertentu yang tidak mengindahkan etika dan moralitas, maka mereka bahkan melakukan berbagai cara, untuk mencapai posisi puncak, sekalipun itu dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Dunia, seolah mengajar kita, berada di dalam sebuah kompetisi yang memperlakukan sesama sebagai saingan yang harus dikalahkan. Bahkan belakangan ini, ‘adu lomba’ seperti dunia ajarkan sudah merambah wilayah pelayanan.
Di kalangan hamba-hamba Tuhan, terjadi hal-hal dimana etika, moralitas dan keinginan menuju puncak, telah dipraktekkan sedemikian rupa dimana kita tidak lagi dapat menemukan teladan kristiani didalamnya. Praktek menghalalkan segala cara, menjegal sesama hamba, sudah menjadi bagian dari usaha menuju puncak di dalam dunia pelayan. Memang tidak semua seperti itu tetapi demikianlah fenomenanya. Dunia mengajarkan, yang tercepat dan berada diposisi puncak adalah hal yang sangat penting dan utama. Tetapi apakah hal itu yang diajarkan oleh Alkitab? Tentu tidak. Sebab jika ‘ya’, maka semua tokoh di dalam Alkitab akan menyelesaikan dengan baik semua tugas pelayanannya. Tidak berhenti di tengah jalan atau gagal sebelum garus finish.
Menarik sekali apa yang menjadi seruan Paulus kepada anak rohaninya, Timotius. Dan seruan itu juga berlaku bagi kita yang dewasa ini hidup di dalam dunia yang semakin gelap ini. Paulus menegaskan sebuah prinsip penting kepada Timotius dan kita semua bahwa yang terpenting adalah bukan seberapa cepat dan seberapa lama kita bertahan di puncak tetapi bagaimana kita mengakhiri setiap ‘pertandingan’ itu dengan baik dan menyelesaikan apa yang menjadi bagian kita. Paulus ingin agar Timotius di dalam tugas pelayanannya mampu menjadi pribadi yang finishing well. Bukan bagaimana kita mengalami percepatan melainkan bagaimana kita menyelesaikan pertandingan dengan baik.
Saya ingat sebuah peristiwa dalam lomba lari marathon di olimpiade. Ada kisah menarik mengenai salah seorang peserta lomba lari tersebut yang berasal dari sebuah negara Afrika miskin. Atlet ini mengikuti olimpiade dengan biaya yang sangat minim dan iringan doa dari seluruh penduduk negaranya. Pada seperempat jarak terakhir, pelari ini tiba-tiba jatuh karena kelelahan dan tumitnya luka karena terbanting dengan keras ke aspal yang panas. Dia tertinggal jauh ke belakang. Pelari lain tidak ada yang mempedulikannya. Seperti biasanya, orang-orang beranggapan bahwa si pelari yang kelelahan ini pada akhirnya menyerah dan tinggal menunggu angkutan panitia yang menyisir dari belakang. Lomba sudah usai. Juara pertama lomba sudah mendapat medalinya dan upacara juga sudah selesai. Orang-orang sudah beranjak dari tempat duduk mereka untuk pulang ke rumah. Para kru televisi yang tengah mengemasi alat tiba-tiba terkejut. Di pintu masuk stadion, terlihat ada sosok pelari yang masuk dengan kesakitan dan susah payah, berlari menuju ke arah finish. Panitia terkejut. Kamera yang mati tiba-tiba dihidupkan kembali. Kegaduhan muncul. Orang-orang yang sudah meninggalkan kursi mencari tahu apa yang terjadi. Tanpa dikomando, pandangan mereka terarah satu orang pelari terakhir olimpiade yang ternyata berlari dengan pelan dan kesakitan menuju arah tribun. Mereka terdiam. Lampu sorot menyala kembali. Tanpa ada yang memerintahkan, orang-orang memberi tepuk tangan untuk menyemangati pelari tersebut. Mereka melihat wajah yang kepayahan dan kelelahan. Kamera televisi yang menyorot wajah pelari ini merelay siarannya di layar besar di atas stadion. Meskipun kelelahan, sorot mata pelari ini penuh dengan semangat. Seratus meter terakhir, orang-orang merapat ke arah lintasan. Pelari ini terjatuh. Seolah tidak ada harapan baginya. Tetapi dia gigih dan bangkit lagi. Terlihat dia menahan sakit. Jalannya menjadi lebih pelan. Dia berlari dan berlari. Tidak lagi peduli kakinya yang luka parah. Tidak lagi mempedulikan fisiknya yang lelas. Ada semangat yang berkobar dimata atlet ini. Di bawah iringan tepuk tangan dan sorotan kamera televisi, akhirnya dia bisa sampai di garis finish. Tepuk tangan membahana. Sungguh sebuah perjuangan yang luar biasa. Apa yang dilakukannya telah membuat dia menjadi bintang perlombaan itu melebihi pemenang medali emas. Di atas tandu yang membawanya ke rumah sakit, seorang reporter bertanya mengapa dia begitu ngotot untuk berlari hingga finish, toh dia tetap kalah. Saya sangat diberkati dengan perkataanya. “Saya dikirim ke tempat ini oleh negara saya untuk menyelesaikan perlombaan hingga ke garis akhir. Mungkin saya bukan yang tercepat, tetapi saya sudah menyelesaikan sebuah pertandingan. Itulah kemenangan yang terpenting!” Luar biasa bukan? Bukan soal yang tercepat, tetapi soal finishing well.
Itu sebabnya penting merenungkan kembali nasehat Paulus kepada Timotius, yang menjadikan dirinya sendiri sebagai sebuah acuan dan teladan hidup. “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman”. (2Tim 4:7) Konsepnya bukanlah soal kecepatan atau siapa mendahului siapa. Konsepnya adalah bagaimana mengakhiri dengan baik, sampai di garis akhir dan tetap setia memelihara iman. Saya membayangkan peristiwa dimana Paulus berkata demikian. Di dalam konteksnya, perkataan itu dapat dilukiskan sebagai seseorang yang sudah menyelesaikan tugasnya dan dia harus pulang untuk melapor bahwa tugas sudah selesai. Sama dengan world view dari pelari olimpiade di atas. Meskpun dia bukan yang tercepat, dia telah sampai di finish dan pulang kembali ke negaranya. Sebelum pulang, dia mengepak semua barang-barangnya sebagai persiapan bahwa tugasnya sudah selesai. Rasanya ada sebuah kebanggaan di dalam dirinya bahwa semua tugasnya sudah selesai dikerjakan dengan baik. Dan dia, sekarang pulang dengan bangga, melapor bahwa tugasnya sudah dikerjakan sebagaimana seharusnya. Itulah orang yang menerima mahkota kebenaran.
Bagaimana dengan anda?
(Untuk mengenang seorang Bapa Rohani, sahabat dan pejuang yang luar biasa di dalam membangun kerajaan Allah, yang telah dipanggil pulang ke rumah Bapa, Jumat 27 Juni 2008. Selamat jalan Bapak Indra Widjajanto, semangatmu tetap hidup dan tidak pernah mati. Perjuanganmu akan diteruskan)
Dalam buku hasil penelitian yang ditulis oleh Dr. Robert Clinton, dia menemukan bahwa para tokoh di dalam Alkitab, ketika memulai perjalanan hidup dan pelayanannya bersama Tuhan, hanya sekitar 30% yang menyelesaikan semua tugas pelayanan itu dengan baik. Clinton menyebut mereka itu finishing well. Mereka mampu menyelesaikan dengan baik apa yang menjadi tugas pelayanan mereka dan membuat tuan mereka bersukacita karenanya. Kepada orang-orang yang seperti inilah berlaku perkataan, “masuklah dan turutlah di dalam kebahagiaan tuanMu”. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana dengan kita? Apakah kita juga mampu menyelesaikan apa yang menjadi tugas panggilan kita yang sudah menjadi destiny kita di dalam Tuhan. Apakah kita tergolong di dalam 70% yang gagal menyelesaikan pertandingan ataukah masuk di dalam kelompok 30% yang oleh Clinton disebut telah finishing well.
Dunia mengajarkan kepada kita untuk berlomba sedemikian rupa mengungguli yang lain. Kita berusaha menjadi nomor satu dan melakukan berbagai upaya, entah halal atau tidak, untuk unggul melebihi orang lain. Semua orang di dunia ini berusaha untuk menjadi yang terbaik, menjadi yang teratas, menjadi yang tercepat, bahkan menjadi sosok yang tak tertandingi. Seperti kata pepatah, hanya ada satu kursi di puncak, maka kita harus berusaha merebut dan mempertahankannya. Tanpa disadari, semangat untuk menduduki posisi yang terbaik seperti ini menjadi sebuah nilai di dalam kehidupan kita di dunia ini. Kita hidup di dalam budaya persaingan yang kita ciptakan sendiri. Baik dilingkungan pekerjaan, bisnis, studi bahkan di dalam pelayanan. Bagi orang-orang tertentu yang tidak mengindahkan etika dan moralitas, maka mereka bahkan melakukan berbagai cara, untuk mencapai posisi puncak, sekalipun itu dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Dunia, seolah mengajar kita, berada di dalam sebuah kompetisi yang memperlakukan sesama sebagai saingan yang harus dikalahkan. Bahkan belakangan ini, ‘adu lomba’ seperti dunia ajarkan sudah merambah wilayah pelayanan.
Di kalangan hamba-hamba Tuhan, terjadi hal-hal dimana etika, moralitas dan keinginan menuju puncak, telah dipraktekkan sedemikian rupa dimana kita tidak lagi dapat menemukan teladan kristiani didalamnya. Praktek menghalalkan segala cara, menjegal sesama hamba, sudah menjadi bagian dari usaha menuju puncak di dalam dunia pelayan. Memang tidak semua seperti itu tetapi demikianlah fenomenanya. Dunia mengajarkan, yang tercepat dan berada diposisi puncak adalah hal yang sangat penting dan utama. Tetapi apakah hal itu yang diajarkan oleh Alkitab? Tentu tidak. Sebab jika ‘ya’, maka semua tokoh di dalam Alkitab akan menyelesaikan dengan baik semua tugas pelayanannya. Tidak berhenti di tengah jalan atau gagal sebelum garus finish.
Menarik sekali apa yang menjadi seruan Paulus kepada anak rohaninya, Timotius. Dan seruan itu juga berlaku bagi kita yang dewasa ini hidup di dalam dunia yang semakin gelap ini. Paulus menegaskan sebuah prinsip penting kepada Timotius dan kita semua bahwa yang terpenting adalah bukan seberapa cepat dan seberapa lama kita bertahan di puncak tetapi bagaimana kita mengakhiri setiap ‘pertandingan’ itu dengan baik dan menyelesaikan apa yang menjadi bagian kita. Paulus ingin agar Timotius di dalam tugas pelayanannya mampu menjadi pribadi yang finishing well. Bukan bagaimana kita mengalami percepatan melainkan bagaimana kita menyelesaikan pertandingan dengan baik.
Saya ingat sebuah peristiwa dalam lomba lari marathon di olimpiade. Ada kisah menarik mengenai salah seorang peserta lomba lari tersebut yang berasal dari sebuah negara Afrika miskin. Atlet ini mengikuti olimpiade dengan biaya yang sangat minim dan iringan doa dari seluruh penduduk negaranya. Pada seperempat jarak terakhir, pelari ini tiba-tiba jatuh karena kelelahan dan tumitnya luka karena terbanting dengan keras ke aspal yang panas. Dia tertinggal jauh ke belakang. Pelari lain tidak ada yang mempedulikannya. Seperti biasanya, orang-orang beranggapan bahwa si pelari yang kelelahan ini pada akhirnya menyerah dan tinggal menunggu angkutan panitia yang menyisir dari belakang. Lomba sudah usai. Juara pertama lomba sudah mendapat medalinya dan upacara juga sudah selesai. Orang-orang sudah beranjak dari tempat duduk mereka untuk pulang ke rumah. Para kru televisi yang tengah mengemasi alat tiba-tiba terkejut. Di pintu masuk stadion, terlihat ada sosok pelari yang masuk dengan kesakitan dan susah payah, berlari menuju ke arah finish. Panitia terkejut. Kamera yang mati tiba-tiba dihidupkan kembali. Kegaduhan muncul. Orang-orang yang sudah meninggalkan kursi mencari tahu apa yang terjadi. Tanpa dikomando, pandangan mereka terarah satu orang pelari terakhir olimpiade yang ternyata berlari dengan pelan dan kesakitan menuju arah tribun. Mereka terdiam. Lampu sorot menyala kembali. Tanpa ada yang memerintahkan, orang-orang memberi tepuk tangan untuk menyemangati pelari tersebut. Mereka melihat wajah yang kepayahan dan kelelahan. Kamera televisi yang menyorot wajah pelari ini merelay siarannya di layar besar di atas stadion. Meskipun kelelahan, sorot mata pelari ini penuh dengan semangat. Seratus meter terakhir, orang-orang merapat ke arah lintasan. Pelari ini terjatuh. Seolah tidak ada harapan baginya. Tetapi dia gigih dan bangkit lagi. Terlihat dia menahan sakit. Jalannya menjadi lebih pelan. Dia berlari dan berlari. Tidak lagi peduli kakinya yang luka parah. Tidak lagi mempedulikan fisiknya yang lelas. Ada semangat yang berkobar dimata atlet ini. Di bawah iringan tepuk tangan dan sorotan kamera televisi, akhirnya dia bisa sampai di garis finish. Tepuk tangan membahana. Sungguh sebuah perjuangan yang luar biasa. Apa yang dilakukannya telah membuat dia menjadi bintang perlombaan itu melebihi pemenang medali emas. Di atas tandu yang membawanya ke rumah sakit, seorang reporter bertanya mengapa dia begitu ngotot untuk berlari hingga finish, toh dia tetap kalah. Saya sangat diberkati dengan perkataanya. “Saya dikirim ke tempat ini oleh negara saya untuk menyelesaikan perlombaan hingga ke garis akhir. Mungkin saya bukan yang tercepat, tetapi saya sudah menyelesaikan sebuah pertandingan. Itulah kemenangan yang terpenting!” Luar biasa bukan? Bukan soal yang tercepat, tetapi soal finishing well.
Itu sebabnya penting merenungkan kembali nasehat Paulus kepada Timotius, yang menjadikan dirinya sendiri sebagai sebuah acuan dan teladan hidup. “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman”. (2Tim 4:7) Konsepnya bukanlah soal kecepatan atau siapa mendahului siapa. Konsepnya adalah bagaimana mengakhiri dengan baik, sampai di garis akhir dan tetap setia memelihara iman. Saya membayangkan peristiwa dimana Paulus berkata demikian. Di dalam konteksnya, perkataan itu dapat dilukiskan sebagai seseorang yang sudah menyelesaikan tugasnya dan dia harus pulang untuk melapor bahwa tugas sudah selesai. Sama dengan world view dari pelari olimpiade di atas. Meskpun dia bukan yang tercepat, dia telah sampai di finish dan pulang kembali ke negaranya. Sebelum pulang, dia mengepak semua barang-barangnya sebagai persiapan bahwa tugasnya sudah selesai. Rasanya ada sebuah kebanggaan di dalam dirinya bahwa semua tugasnya sudah selesai dikerjakan dengan baik. Dan dia, sekarang pulang dengan bangga, melapor bahwa tugasnya sudah dikerjakan sebagaimana seharusnya. Itulah orang yang menerima mahkota kebenaran.
Bagaimana dengan anda?
(Untuk mengenang seorang Bapa Rohani, sahabat dan pejuang yang luar biasa di dalam membangun kerajaan Allah, yang telah dipanggil pulang ke rumah Bapa, Jumat 27 Juni 2008. Selamat jalan Bapak Indra Widjajanto, semangatmu tetap hidup dan tidak pernah mati. Perjuanganmu akan diteruskan)