ALKITAB Sebuah Tinjauan Tentang Kanon dan Inerrancy Alkitab
Oleh
: Sonny Eli Zaluchu, D.Th
Alumnus
Program Doktor STBI Semarang. Penulis buku Biblical Theology.
Dapat
dihubungi di gloryofgodmin@gmail.com atau 081.325854343
A.
Pendahuluan
Alkitab adalah
terjemahan dari kata Bible (Inggris)
yang menjadi nama buku dari kitab suci Agama Kristen. Kata Bible sendiri merupakan terjemahan dari kata Yunani, biblia, yang merujuk pada sekumpulan buku-buku
dan dalam bentuk jamaknya menunjukkan bahwa biblia
tersebut isinya bukan satu melainkan sekumpulan buku-buku. Biblia adalah buku kitab suci yang memuat seluruh kanon Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru.[1]Tetapi
karena pada akhirnya dipandang sebagai satu kesatuan, maka istilah biblia yang berbentuk jamak itu diganti
dengan kata Alkitab, yang berbentuk tunggal. Kumpulan buku-buku tersebut telah
melalui sebuah proses yang panjang untuk akhirnya diterima sebagai satu
kesatuan yang menjadi Kitab Suci bagi agama Kristen. Proses tersebut dinamakan
kanon Alkitab, sehingga melaluinya kumpulan buku itu menjadi sah sebagai sebuah
firman Allah.
Dalam
kapasitasnya sebagai kitab suci, Alkitab memiliki pengaruh yang sangat luas dan
berakar di dalam kekristenan dan cara hidup orang Kristen. Alkitab telah
mengubah dan memperbaharui kehidupan berjuta-juta orang dari setiap generasi.[2] Bahkan
kehidupan kekristenan itu sendiri sudah tidak dapat terpisah dari keberadaan
Alkitab sebagai sesuatu yang diyakini memiliki kebenaran, dan membangun iman.
Hal ini terjadi karena Alkitab merupakan dan berisi firman Allah. Dalam bukunya
Bagaimana Jika Alkitab Tidak Pernah
Ditulis, James Kennedy memberikan kesaksian yang sangat bagus mengenai
betapa Alkitab memberikan pengaruh di dalam diri seseorang sehingga dapat
menuntun pada konversi (pertobatan) dan mengarahkan pada cara hidup,
nilai-nilai (values) dan tindakan
yang benar. Dikatakannya, Alkitab adalah sebuah buku yang telah mengilhami
ribuan orang diseluruh dunia, dari zaman ke zaman, dari segala macam jabatan
dan kedudukan. Hal ini telah mendudukkan Alkitab dalam supremasi sebagai buku
yang paling laku di dunia, paling banyak dibaca dan paling banyak diproduksi
serta diterjemahkan dalam berbagai bahasa di dunia.[3]
Diantara
sekian banyak pembicaraan mengenai Alkitab, makalah ini membahas dua issue penting tentang Alkitab yang
ditinjau secara singkat yakni tentang proses kanoninik dan inerrancy.
B.
Struktur
dan Terjemahan Alkitab
Berdasarkan
isinya, Alkitab terdiri dari dua kumpulan kitab yakni Perjanjian Lama (Old Testament) dan Perjanjian Baru (New Testament) yang kesemuanya terdiri
dari enam puluh enam kitab. Kitab PL terdiri atau tersusun dari 39 kitab
sedangkan di Perjanjian Baru terdiri atau tersusun dari 27 kitab. Susunan
buku-buku inilah yang menjadi satu kesatuan dan disebut sebagai Alkitab.
Kitab PL
dikenal juga sebagai Kitab Suci Ibrani yang berisi tiga jenis sastra pokok
yakni buku-buku kisah, kitab-kitab kenabian dan sastra kebijaksanaan. Ketujuh
belas buku pertama, mulai dari Kejadian hingga Ester, sebagian besar berbentuk
kisah. Lima buku pertama, yang terdiri dari Kejadian, Keluaran, Imamat,
Bilangan dan Ulangan adalah kitab yang unik dan dikenal dengan nama Pentateukh yang ditulis oleh Musa (dan
disebut juga kitab-kitab Musa), menceritakan peristiwa keluarnya bangsa Israel
dari Mesir menuju Kanaan serta pemberian hukum-hukum Allah yang mengatur
kehidupan mereka. Bagian selanjutnya adalah kitab-kitab kenabian yang terdiri
dari Nabi-Nabi Pendahulu (Yosua, Hakim-Hakim, Samuel dan Raja-Raja), Nabi-Nabi
Kemudian (Yesaya, Yeremia dan Yehezkiel) yang disebut juga dengan Nabi-Nabi
Besar dan kemudian disusul Nabi-Nabi Kecil (dari Hosea Hingga Maleakhi).
Tradisi Kristen mencakup Daniel sebagai Nabi-Nabi Kemudian. Kitab-kitab ini
memberikan informasi historis yang sangat penting tentang periode-periode yang
berbeda dalam sejarah Israel. Sedangkan bagian ketiga adalah Sastra
Kebijaksanaan yang terdiri dari Mazmur, Amsal (kata-katanya ringkas tapi
tajam), Ayub dan Tawarikh. [4] Kitab
suci PL inilah yang menjadi bahan kutipan Yesus di dalam
pengajaran-pengajaran-Nya.[5]
Perjanjian
Baru muncul belakangan. Terdiri dari keempat Injil (Matius, Markus, Lukas,
Yohanes) dan Kisah Para Rasul. Tiga Injil pertama di dalam PB sangat unik
karena saling mirip satu sama lain sehingga disebut Injil Sinoptik.[6]
Kemudian disusul dengan Surat-Surat Paulus kepada Jemaat-jemaat (Roma,
Korintus, Galatia, Efesus, Filipi, Kolose dan Tesalonika); Surat-Surat Pastoral
(Filemon dan Ibrani) serta Surat-Surat Am (Yakobus, Petrus, Yohanes dan Yudas).
Kitab ini ditutup dengan Kitab Apokaliptik yakni Wahyu.
Naskah asli
dari Alkitab sudah tidak ditemukan lagi. Penyusunan Alkitab modern yang saat
ini ada, sesungguhnya berasal dari berbagai terjemahan dan salinan yang ada
yang dekat dengan sumber-sumber aslinya. Terjemahan kitab suci Yahudi yang
paling awal dikenal dengan nama Septuaginta (atau LXX) yakni terjemahan dari
bahasa Ibrani ke Yunani.[7]
Terjemahan ini dibuat untuk memenuhi kebutuhan orang Yahudi di seluruh dunia
yang sudah tidak bisa lagi berbicara bahasa Ibrani. Terjemahan inilah yang
kemudian menjadi dasar bagi terjemahan sesudahnya, terutama Vulgata (terjemahan
dalam bahasa Latin).[8]
Sedangkan teks-teks PB berasal dari beribu macam manuskrip yang berasal dari
abad ke-4 dan 5 M. Tetapi ada juga penggalan papirus dari abad ke -2 dan ke-3
M. Manuskrip yang lain terdiri dalam perkamen yang dijilid dalam bentuk buku.[9]
Walaupun berasal dari salinan yang ada, tidak berarti bahwa hal tersebut
mengurangi kredibilitasnya sebagai kitab suci yang akurat. Sebab, masing-masing
salinan tersebut dapat dibandingkan satu dengan lainnya.
Gambaran di
atas memperlihatkan bahwa sebagai buku yang ditulis oleh lebih dari satu
penulis dan ditulis pada zaman yang berbeda-beda, Alkitab menjadi unik. Para
penulisnya berasal dari latar belakang budaya, karakter dan zaman yang berbeda.
Tetapi hasil karya mereka akhirnya menjadi satu kesatuan yang utuh yang saling
menunjang dan saling melengkapi satu sama lain. Itulah sebabnya, Alkitab tidak
dilihat sebagai buku yang bisa direkonstruksi berdasarkan masing-masing penulis
dan kitab tetapi sebuah buku, yang walaupun ditulis oleh penulis yang berbeda,
memiliki kesatuan yang sangat erat. Hal tersebut ditentukan oleh kanonisasi.
C.
Kanon
Alkitab
Alkitab hadir
di dalam bentuknya yang sekarang karena telah disusun dan disempurnakan menjadi
sebuah buku melalui sebuah kanon. Kanon terjadi dua kali, yakni kanon PL dan
kanon PB.
Kata kanon
berasal dari kata Yunani kanoon yang
pengertiannya merujuk pada satu keseluruhan yang sudah final, yang tidak bisa
ditambahkan lagi. Asal katanya berarti tongkat besi yang lurus yang digunakan
sebagai alat pengukur. Menurut Bruggen, kata kanon baru dipakai pada untuk
Alkitab ketika sudah ada kepastian bahwa Kitab-kitab Suci telah lengkap sebagai
kumpulan, dan ketika orang berusaha menjaga agar kumpulan itu tidak kemasukan
tulisan yang lain yang tidak tergolong didalamnya.[10]
Dengan demikian disimpulkan, dalam pemakaiannya terhadap Alkitab, maka kata ini
merujuk pada kitab yang sudah dianggap standard, diterima dan berwibawa sebagai
firman Allah.
Kanon Alkitab
akan memberikan kepada kita wawasan tentang bagaimana ke-66 kitab sebagai isi
PL (39 kitab) dan PB (27 kitab), dipandang dan diterima sebagai kitab-kitab
suci, yang jumlahnya tidak lebih atau kurang daripada itu. Proses kanon ini
sangatlah rumit dan lama. Butuh waktu untuk melakukan pengujian bagi
masing-masing kitab untuk menjadi bagian standard Alkitab yang berwibawa.
Keberadaannya bukan oleh keputusan manusia, konsili ataupun gereja tetapi
dituntun oleh Roh Kudus. Melalui tuntunan tersebut, maka hanya buku-buku yang
benar sajalah yang diterima sebagai bagian dari Alkitab. Misalnya, PB yang proses
kanonnya memakan waktu puluhan tahun. Pada waktu masa gereja mula-mula,
terdapat banyak surat-surat dan pengajaran yang beredar dan dipegang oleh orang
Kristen sebagai ajaran. Karangan-karangan itulah yang kemudian dikumpulkan dan
disatukan menjadi PB. Tetapi pertanyaannya adalah, mengapa ada surat-surat
ataupun karangan yang juga beredar pada waktu itu tetapi tidak ikut di dalam
kumpulan 27 kitab PB? Dalam hal inilah kanon memegang peranan yang sangat
penting sebagai standard seleksi. Ada lima pengujian terhadap kanon dan itu
menunjuk apakah surat-surat tersebut memiliki otoritas rasuli dengan melihat
kebenaran dan bukti inspirasi didalamnya; menjelaskan apakah surat-surat atau
karangan itu memiliki makna profetis, apakah surat-surat atau karangan-karangan
tersebut otentik dan bisa ditelusuri keasliannya, apakah ada sifat dinamis didalamnya
dan yang terakhir apakah diterima dan dipakai secara luas oleh orang Kristen
atau gereja pada masa itu. Pengujian kanon inilah yang kemudian menyeleksi
semua karangan dan surat-surat yang beredar di masa PB menjadi Alkitab PB. Duyverman
mengatakan bahwa ada tiga patokan yang dipegang dalam pergumulan gereja saat
melakukan kanon PB, yakni apakah kitab itu berasal (langsung atau tidak
langsung) dari rasul?; apakah kitab itu dipergunakan oleh umum di dalam
gereja?; dan apakah kitab itu tua, didukung oleh tradisi gereja.[11]
Bentuk PB yang sekarang ini menurut Groenen adalah hasil dari berbagai
perdebatan yang berlangsung antara tahun 300 hingga 350 M dimana ada
surat-surat yang diterima dan masih ada surat-surat yang dibantah dan ada
sejumlah lain yang ditolak. Tahun 367 M merupakan gambaran final ke-27 daftar
kitab suci PB yang diterima melalui susunan yang dibuat oleh Atanasius. Tidak
lama berselang, susunan itu diterima oleh umat Kristen di bagian Timur,
kemudian tersebar ke Barat dimana Hieronimus ikut berperan didalamnya. Tahun
393 M dan 397 M berlangsung dua konsili di Afrika yakni di Hippo dan Kartago
yang menerima dan menetapkan daftar yang sama. Paus Inosentius I pada tahun 419
M juga mengirimkan daftar itu ke Perancis.[12]
Dari sanalah mulai berlaku kanon PB.
Bagaimana
dengan kanon PL? Kita harus berterima kasih kepada tradisi Yahudi melalui
rabi-rabinya yang telah menjaga sedemikian rupa naskah-naskah dan salinan PL
yang telah menjaganya selama 3000 hingga 4000 tahun. Naskah-naskah inilah yang
beredar dan muncul pada zaman Tuhan Yesus. Pada masa Yesus, kanon PL sebetulnya
sudah lengkap.[13] Prosesnya lebih lama dari
kanon PB. Proses ini dimulai dengan supremasi Pentateukh (Kitab-kitab Musa)
menjelang zaman Ezra pada abad ke-5 SM, ketika banyak orang Yahudi kembali ke
Israel dari Babel. Beberapa waktu kemudian Kitab Para Nabi yangmencakup Yosua
dan kitab-kitab sejarah diterima secara luas. Menjelang abad pertama M, tulisan
tulisan yang terdiri dari 11 kitab dalam kitab suci Ibrani ini diterima secara
luas, meskipun dipandang rendah dibandingkan Pentateukh dan Kitab Para Nabi. Keautentikan tulisan-tulisan itu
masih diperdebatkan oleh para rabi Yahudi di awal abad ke-1 M. Kitab-kitab lain
yang juga ikut diperdebatkan yaitu Yehezkiel (meskipun tidak sampai
menggesernya dari daftar final). Menurut Keene, diantara banyak faktor
pendukung bagi pemilihan dan seleksi kitab-kitab PL tersebut, beberapa yang
penting diantaranya adalah, tradisi bahwa sebuah kkitab dapat ditelusuri
kembali dengan Musa; apakah sebuah kitab dapat dikaitkan dengan salah satu dari
nabi-nabi Yahudi yang diakui secara luas; apakah sebuah kitab membawa catatan
yang jelas tentang kewibawaan rohani; dan apakah sebuah kitab disimpan di Bait
Suci di Yerusalem dan karena itu dianggap sebagai suci.[14]
Kelompok rabi Yahudi dari Yamnia dipercaya memiliki andil penting di dalam
penyusunan akhir kanon PL. Mereka adalah rabi yang mengajar di Yamnia sekitar
tahun 90 M. Mereka memutuskan menyingkirkan semua kitab Yahudi yang ditulis
dalam bahasa Yunani. Kitab-kitab yang disingkirkan itu dikenal dengan nama apokrifa.[15] Selain keputusan
Yamnia, para Bapa Gereja mula-mula, juga sudah menggunakan kitab-kitab kanon PL
di dalam surat-surat dan pengajaran mereka.
Kanon Alkitab
sebetulnya campur tangan Allah dan bukan pekerjaan manusia. Roh Kudus ikut
membimbing para rabi Yahudi, Bapa Gereja dan umat Kristiani untuk menetapkan
standard manakah di antara puluhan bahkan ratusan manuskrip yang ada dan
beredar di tengah jemaat sebagai firman Allah yang sejati. Kritik yang umumnya
ditujukan terhadap kanon ini berpusat pada pembatasan kanon yang dianggap hanya
sebatas tulisan yang beredar saja pada waktu itu. Bahkan Wahono mengatakan
bahwa tulisan tersebut ‘asal pilih’ saja, sebab keadaan pada zaman itu ikut
menentukan. Buku-buku yang tidak hilang dan dirasakan perlu oleh jemaat waktu
itu cenderung lolos dalam seleksi.[16] Asumsi
tersebut membuat Alkitab kehilangan otoritasnya sebagai firman Allah. Argumen
itu ditolak tegas oleh Bruggen yang mengatakan bahwa, penghentian perluasan
kanon bukanlah dilakukan oleh gereja. Tuhan melakukan pembatasan terhadap
nabi-nabi yang membawa suaraNya dan bahkan membatasi diriNya sendiri untuk
hanya memberikan kewibawaanNya hanya kepada generasi para rasul dan para
penatua saja.[17]
D.
Inspirasi
dan Inerrancy Alkitab
Alkitab
sebagai firman Allah adalah salah satu pokok penting yang menjadi kunci mengapa
Alkitab disebut memiliki otoritas ilahi. Bukan hanya itu, Alkitab menjadi
sebuah penyataan khusus Allah kepada orang percaya yang didalamnya Allah secara
pribadi menyatakan diriNya kepada ciptaanNya.[18]
Berdasarkan itu, Alkitab bukan hanya sekedar catatan tentang penyataan atau
pewahyuan melainkan penyataan/pewahyuan itu sendiri. Itu sebabnya dikatakan
bahwa Alkitab adalah pesan Allah dalam bentuk tertulis dan memiliki otoritas
yang dinyatakan didalamnya.[19]
Bahsen mengatakan bahwa otoritas ini terlihat dari isi pesan rasuli yang
mengkhotbahkan Injil (1 Petrus 1:10-12), mereka dibimbing pada kebenaran (Yoh
16:13), berbicara dengan kata-kata yang diajarkan Roh Kudus (1 Kor 2:12-13) dan
mengarahkan apa dan bagaimana mengatakan apa yang harus dikatakan (Mat
10:19-20). Melalui kalimat-kalimat tertentu, kita juga dapat melihat otoritas
tersebut. Contohnya, Allah berkata, Roh Kudus berkata (Kisah 1:16, 3:24-25,
2Kor 6:16); apa yang Alkitab katakan identik dengan apa yang Allah katakan (Gal
3:8; Roma 9:16). Otoritas yang sama berlaku juga dalam tulisan para rasul (1
Kor 15:1-2; 2 Tes 2:15, 3:14) yang dianggap sejajar dengan PL (3 Pet 3:15-16;
Wahyu 1:3) dan juga terdapat dalam kalimat ‘ada tertulis’ (Yoh 20:3).[20]
Untuk bisa
sampai dalam bentuknya yang tertulis, penyataan khusus Allah tersebut melalui
sebuah proses yang disebut pengilhaman (inspiration)
melalui para penulis kitab-kitab di dalam Alkitab dengan pertolongan Roh Kudus.
Allah adalah sumber segala sesuatu yang ditulis di dalam Alkitab. Melalui
pengilhaman, kita memiliki firman Allah yang ditulis oleh manusia, yang
diilhami bukan hanya konsepnya, melainkan dalam setiap kata yang digunakan
untuk mengungkapkan konsep tersebut.[21]
Menurut Lewis, Roh Kudus bukan saja mengarahkan kepribadian si penulis, tetapi
kerangka konseptual dalam pikiran dan juga tulisannya.[22] Oleh
sebab itulah maka dikatakan Alkitab tidak dapat salah (innerant).
Dalam bukunya
berjudul Systematic Theology, Chaefer mengusulkan ada tujuh teori tentang
pengilhaman.[23] Ketujuah teori itu adalah
sebagai berikut : § Teori
Mekanis (pendiktean) – Allah mendiktekan tulisan-tulisan kepada manusia (devine author). § Partial Inspiration
– hanya mencakup pengajaran-pengajaran dan perintah perintah yang bersifat
doktrinal dan kebenaran-kebenaran yang tidak dapat dimengerti oleh
penulis-penulis manusia. § Degrees of Inspiration
(bertingkat-tingkat) – bagian-bagian tertentu di dalam Alkitab mempunyai
tingkat pengilhaman yang lebih tinggi daripada yang lain. § The Concept and not The Words
Inspiration – Allah hanya memberikan konsep atau
ide-ide, sedangkan penulis manusiawi mengungkapkannya dalam bahasanya sendiri. § Natural Inspiration
– orang-orang tertentu yang mempunyai pengetahuan rohani yang luar biasa,
memiliki kemampuan sebagai bawaan secara alamiah, lalu kemudian menulis Alkitab. § Mistical Inspiration
– setiap orang Kristen bisa menulis Alkitab dengan kekuatan Allah secara
khusus. Allah bekerja di dalam mereka § Verbal and Plenary Inspiration
(Pengilhaman kata demi kata dan secara menyeluruh) - Dengan pengilhaman kata
demi kata, berarti bahwa tulisan tulisan asli Alkitab, Roh Kudus menuntun dalam
pemilihan kata-kata yang dipakai. Karakter dari penulis dan kosa kata mereka
gunakan, tetapi tanpa kesalahan
Berdasarkan
ketujuh teori itu, maka yang paling tepat mendukung inerrancy adalah pengilhaman verbal dan lengkap. Menurut Tindas,
pengilhaman secara menyeluruh berarti bahwa keakuratan sebagaimana terjamin
dalam pengilhaman secara verbal, diperluas kepada setiap porsi Alkitab sehingga
tiap bagian Alkitab tak dapat keliru dalam hal kebenaran dan menentukan dalam
hal kewibawaan ilahi.[24]
Kendati
demikian, sifat inerrancy Alkitab ini
tidak begitu saja diterima secara luas dikalangan teolog, terutama mereka yang
menganut faham liberal dengan high
criticism-nya.[25]
Kalangan ini menilai bahwa Alkitab tidak jauh berbeda dengan buku-buku lain dan
isinya tidak semuanya mengandung firman Allah, sehingga perlu diteliti lebih
lanjut manakah yang benar-benar
merupakan firman Allah dan mana yang tidak. Pendekatan seperti ini terhadap
Alkitab dikenal dengan kritik historis. Menurut Linnemann, kritik historis
dilatarbelakangi oleh keraguan terhadap Alkitab sehingga perlu diperiksa
kembali kebenarannya. Keraguan itu tercipta karena telah muncul banyak perubahan
dalam hal sosial, politik, perkembangan ilmu pengetahuan dan pengaruh filsafat.[26]
Metodologi kritik ini dimulai dengan pra-anggapan negatif. Artinya, Alkitab
diragukan sebagai firman Allah sampai itu bisa dibuktikan kemudian. Pendekatan yang
digunakan oleh para teolog dalam faham ini bukan berpijak pada iman melainkan
pada keragu-raguan. Bagian-bagian Alkitab akan dibuang kalau tidak dapat
dijelaskan secara rasional. Akibatnya, derajat Alkitab sebagai buku yang
berwibawa dan berisi firman Allah, direndahkan. Alkitab menjadi objek kritik
dan penelitian sejarah, sebab bagi kritik historis, Alkitab adalah buku yang
sedikit berbeda dan bahkan tidak lebih suci dari buku-buku lain. Kemunculan
kritik historis ini tentu saja menjadi tantangan bahkan dapat menjadi sebuah
ancaman bagi pengajaran Alkitab yang benar dan kehidupan iman orang percaya.
Maka untuk menghadapi hal-hal semacam ini perlu ditekankan kembali bahwa sifat inerrancy Alkitab itu sesungguhnya tidak
berasal dari manusia. Alkitab membuktikan dirinya sendiri bahwa dirinya
berwibawa dan memiliki otoritas Ilahi.[27]
Di dalam suratnya kepada Timotius, Paulus menegaskan satu pokok penting tentang
pembahasan ini. “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk
mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk
mendidik orang dalam kebenaran”.[28]
Menurut Kennedy, kita mengetahui Alkitab adalah firman Allah karena Allah
sendiri berkata demikian. Kennedy mencontohkan, penugasan Musa, nabi-nabi dalam
PL, semua adalah perintah untuk mencatat firmanNya. Frasa “Yang difirmankan
Tuhan” atau “Allah berfirman atau berfirmanlah Allah” muncul dua ribu kali
dalam PL. Bahkan Yesus sendiri meneguhkan bahwa kitab suci adalah firman Allah.[29]
Demikian juga dengan rasul-rasul, meneguhkan kebenaran Alkitab sebagai firman
Allah yang berwibawa.[30]
Persoalan lain
yang sering muncul dikalangan teolog adalah soal inerrancy manakah yang diikuti, apakah terhadap teks asli (autographa) atau terhadap salinannya
atau kedua-duanya. Ada dua kubu pendapat ahli mengenai persoalan tersebut. Satu
kubu yang mendukung inerrancy salinan seperti Philo (mempostulatkan inspirasi
septuaginta), Paus Sixtus V (vulgata adalah kitab suci otentik yang
terinspirasi), Hollaz, Quensteft dan Turretin (transmisi teks asli kitab suci
tidak mengandung kekeliruan), Augustin dalam suratnya kepada Jerome
(mempertanyakan apakah teks atau penyalin yang keliru atau saya yang tidak
mengerti?). Kubu yang lain yang menolak ide inerrancy
autographa seperti Smith (doktrin inerrancy
autographa terlalu spekulatif, karena menyangkut teks yang telah lama tiada
dan hampir mustahil dapat ditemukan kembali), Briggs (autographa tidak pernah
kita lihat atau miliki, seandainya betul terinspirasi, apa gunanya bagi kita?),
Koster (tidak seorangpun dapat menggunakan autographa yang telah hilang,
sehingga Alkitab yang dimiliki gereja saat ini semuanya tidak inerrant dan tidak infallible.[31]
Terhadap masalah ini, Bahsen mengatakan nilai suatu salinan sebanding dengan
derajat ketepatan refleksi autographa. Deviasinya sendiri akan merusak
instruksi doktrin dan arah hidup yang benar.[32]
Itu sebabnya dalam uraian Bahsen terdapat sejumlah argumentasi teologis yang
menekankan bahwa Alkitab sebagai sebuah salinan memiliki refleksi teologis
tehadap teks autographa itu sendiri sehingga tidak perlu diragukan sifat inerrant-nya. Keabsahan salinan dan
otoritas utama autographa disatukan dalam rumus PB melalui frase ‘ada tertulis’
(disebutkan 73 kali dalam Injil) sudah memberikan arti bahwa apa yang dulu
tertulis demikian pula sekarang tertulis.[33]
Dengan demikian, meskipun yang kita terima saat ini hanyalah hasil dari salinan
(karena autographa tidak pernah ditemukan) kita tetap percaya bahwa salinan
demi salinan itupun punya sifat inerrant.
Inetagritas manuskrip-manuskrip awal telah dikonfirmasi oleh sejarah, arkeologi
modern dan ilmu pengetahuan. Sejumlah besar catatan kuno yang konsisten
ditemukan dalam Gulungan Laut Mati. Catatan kuno itu identik dengan Alkitab
bahasa Ibrani saat ini.[34]
E.
Penutup
Memahami
Alkitab sebagai firman Allah yang innerant
atau tidak, sangat ditentukan oleh bagaimana penerimaan kita terhadap Alkitab
itu sendiri. Jika kita mempercayainya sebagai firman Allah yang hidup,
berwibawa dan memiliki otoritas, maka dengan sendirinya prinsip inerrancy Alkitab diterima. Demikian
sebaliknya.
Sekalipun
serangan terhadap Alkitab selalu ada disepanjang sejarah kehidupan manusia,
jika diamati, maka berbagai serangan itu sebetulnya hanya bersifat pengulangan
dari apa yang pernah berlangsung di masa lampau. Melalui serangan demi serangan
tersebut, Alkitab justru telah mampu membuktikan kehandalan dirinya di
sepanjang sejarah umat manusia. Sifat ilahi yang dibawanya sejak proses
pembentukannya di dalam kanon bahkan jauh ke belakang, saat penulis penulisnya
mulai menggoreskan pena dalam proses pengilhaman, telah membuat Alkitab tahan
uji dan membela dirinya sendiri. Hal itu membuktikan bahwa Alkitab memiliki
otoritas dan kewibawaan yang tak tergoyahkan sebagai sebuah firman Allah.
Daftar Pustaka
Bruggen,
Jacob van. Siapa Yang Membuat Alkitab. Surabaya: Momentum, 2008.
Chaefer, Lewis
Sperry. Systematic Theology. Texas: Dallas Seminary Press, 1980.
Duyverman, Drs. ME. Pembimbing Ke Dalam
Perjanjian Baru. Jakarta: BPK, 2006.
Geisler, Norman dan Ron Brooks. Ketika
Alkitab Dipertanyakan. Yogyakarta: Andi, 2006.
Groenen OFM, Dr. C.
Pengantar Ke Dalam Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Keene, Michael. Alkitab –
Sejarah, Proses Terbentuk dan Pengaruhnya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006.
Kennedy, James D. Bagaimana Jika Alkitab
Tidak Pernah Ditulis. Jakarta: Interaksara, 1999.
Lewis,
Gordon R.. “The Human Authorship of Inspired Scripture” dalam Norman L. Geisler
(Ed.), Inerrancy. Michigan: Zondervan, 1980.
Linnemann, Prof.
Dr. Eta. Teologi Kontemporer. Batu Malang: PPII, 2006.
Muncaster, Ralph O.
Benarkah Alkitab Merupakan Pesan dari Tuhan?
Jakarta: Gospel Press, 2002.
Pache, Rene. The
Inspiration and Authority of Scripture. Chicago: Moody Press, 1977.
Tindas, Dr. Arnold. Inerrancy –
Suatu Kajian Induktif dengan Pendekatan Tekstual – Gramatikal – Historikal.
Jakarta: HITS, 2005.
Thiessen, Henry C. Teologi Sistematika.
Malang: Gandum Mas, 2008.
Wahono, Wismoady.
Disini Kutemukan. Jakarta: BPK, 2000.
Komentar
Posting Komentar