Quo Vadis Domine? Murid Kristus yang Dipanggil untuk Diutus dan Memikul Salilb di Tengah Dunia yang Gelap
ORASI ILMIAH WISUDA STA
JEMBER 2013/2014 27 Agustus 2014
Oleh: Dr. Sonny
Eli Zaluchu, M.A, M.Th, D.Min[1]
Ketua
Senat, Bapak/Ibu anggota senat, hadirin,
dan seluruh wisudawan/wati dan civitas akademika STA Jember yang saya hormati,
Perkenankan
pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih menerima kehormatan
menyampaikan orasi ilmiah dalam rangka Wisuda STA Jember tahun perkuliahan
2013/2014. Sekaligus juga pada kesempatan ini saya mengucapkan selamat kepada
seluruh wisudawan/wati yang akan
mengakhiri masa belajarnya di STA Jember pada satu sisi dan akan memulai
perjalanan panjang sebagai seorang ‘talmidin’ Kristus di dunia yang gelap ini.
Itu sebabnya dalam orasi ini, saya akan menyampaikan topik, “Quo Vadis, Domine?
Murid
Kritus yang Dipanggil untuk Diutus dan Memikul Salib Di tengah Dunia yang Gelap.”
Ketua
Senat, Bapak/Ibu anggota senat, hadirin,
dan seluruh wisudawan/wati dan civitas akademika STA Jember yang saya hormati,
Di
dalam konsep pemuridan yang dikembangkan Tuhan Yesus, kita semua tentunya sudah
mengerti bahwa ‘talmidin’ adalah sebuah konsep Ibrani yang sangat khas tentang disciple atau discipleship atau disebut juga, murid. Disebut khas karena hal itu
bukan sekedar posisi sebagai murid tetapi menuntut suatu tanggung jawab, baik secara
moral, maupun dalam perilaku di hadapan orang lain; sehingga melaluinya, seseorang
itu dikenali oleh publik sebagai murid Kristus sejati. Bahkan di hadapan Tuhan,
nama itu kelak dipertanggung jawabkan di dalam kekekalan. Semula, nama itu ditujukan
bagi dua belas murid Kristus. Tetapi seiring dengan kekristenan yang terus
berkembang melewati batas-batas negara, politik dan geografis serta budaya, maka
mereka yang menjadi pengikut Kristus, karena iman dan kepercayaan-nya itu, juga
disebut murid Kristus. Darisanalah
kemudian muncul nama ‘orang Kristen’ (Christian).
Sehingga, di mana seseorang menerima Yesus sebagai juru selamat pribadi, maka
pada saat yang bersamaan, orang tersebut telah menjadi seorang ‘talmidin’. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa, bukan hal yang mudah untuk disebut sebagai
seorang murid Kristus. Mengapa demikian?
Menjadi
murid adalah panggilan. Dua belas murid Yesus dipanggil untuk mengikuti Yesus.
Demikian halnya dalam kekristenan. Semua pengikut Kristus pasti mengalami satu
fase yang disebut panggilan. Definisi yang paling baik dikemukakan oleh Os
Guinness di dalam bukunya berjudul The
Calling. Dikatakannya, panggilan adalah kebenaran bahwa Allah memanggil
kita kepada diri-Nya sehingga seluruh keberadaan kita, segala sesuatu yang kita
lakukan, dan segala sesuatu yang kita miliki, diinvestasikan dalam suatu
pengabdian dan dinamisme khusus yang dijalani sebagai respon kepada seruan dan
pelayanan-Nya.[2]
Pada
waktu Yesus memanggil Petrus, Tuhan menginginkan satu perubahan hidup yang
radikal ketika Ia berkata kepada Petrus, "Mari,
ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia."
(Matius 4:19). Dari situ kita mengerti, makna yang terkuat di dalam panggilan
adalah mengarahkan segala kepentingan hidup untuk memenuhi tujuan-tujuan yang
telah ditetapkannya. Di titik ini, bukan lagi keinginan kita yang berkuasa
melainkan mengarahkan semua keinginan kita selaras dengan kehendak-Nya. Ini
adalah sebuah titik pencapaian yang telah dicapai Paulus dan hendaknya kita
semua, ketika rasul besar ini berkata, namun
aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang
hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah
hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan
diri-Nya untuk aku (Galatia 2:20). Disitu ada kalimat yang sangat tegas
dari Paulus, I am crucified with Christ.
Aku telah ikut disalibkan di dalam Kristus. Inilah makna terdalam dari sebuah
panggilan ketika Yesus berkata, "Setiap
orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya
setiap hari dan mengikut Aku” (Lukas 9:23).
Tidak
ada pilihan lain bagi seorang murid Kristus kecuali memikul salib dan titik
terberat di dalam usaha memikul salib itu adalah menghadapi aniaya yang
berujung pada pengorbanan. Itu adalah sebuah harga tertinggi dari sebuah
panggilan yang berhasil. Banyak murid gagal dan tidak tuntas karena tidak
setia, gagal menyangkal diri dan tidak mau memikul salib. Penyangkalan diri dan
memikul salib adalah sebuah harga yang harus di bayar. Memberitakan Injil
sebagai murid Kristus bukanlah kesenangan duniawi. Tetapi menuntut harga yang
harus dibayar melalui cara kita melepaskan diri dari kesenangan-kesenangan
duniawi dan menyalibkan kedagingan. Harga yang harus dibayar dapat saja membuat
kita kehilangan kebahagiaan; tetapi itulah yang telah menjadi standar Tuhan.
Apakah itu standar yang terlalu tinggi bagi kita sehingga sulit mencapainya?
Bukan persoalan itu! Masalah yang sebenarnya adalah kerelaan kita memenuhi
tuntutan Tuhan, untuk melepaskan semua hal, demi mengikuti-Nya.
Ketua
Senat, Bapak/Ibu anggota senat, hadirin,
dan seluruh wisudawan/wati dan civitas akademika STA Jember yang saya hormati,
Tidak
semua orang bisa memenuhi panggilannya dengan baik. Ketika Tuhan mengatakan,
“kamu akan kujadikan penjala manusia,” itu adalah sebuah panggilan yang bergema
di setiap waktu, zaman dan generasi, untuk memenuhi dan menuntaskan sebuah
tugas yang Tuhan berikan. Dr. Bobby Clinton dari Fuller Theological Seminary, pernah melakukan sebuah penelitian
tentang kepemimpinan di dalam Alkitab. Hasil studi itu menyebutkan dari 100
orang nama pemimpin terkemuka yang tercatat di dalam Alkitab, ditemukan hanya
49 orang yang berhasil menyelesaikan tugas dan panggilannya dengan baik.
Sisanya gagal karena, berhenti di awal
tugas karena ditolak, terbunuh, gugur, atau dijatuhkan baik secara positif
maupun negatif. Ada pula yang gagal
karena menyelesaikan dengan buruk akibat rusaknya hubungan pribadi dengan Tuhan.
Tetapi banyak di antara para pemimpin itu, hanya menyelesaikan
setengah-setengah dari tugas yang dibebankan kepadanya. Pada mulanya mereka memulai
dengan baik tetapi akhirnya tercemar oleh dosa dan mereka berjalan dengan
konsekuensi negatif akibat perilaku tersebut.[3]
Panggilan,
bukanlah sekedar ajakan. Di dalamnya ada tugas yang harus dituntaskan dengan
baik. Memulai dengan baik dan mengakhiri dengan baik (finishing well). Saudara-saudara
yang terkasih di dalam Tuhan, paling tidak kita melihat bahwa panggilan
yang tuntas di dalam tugasnya, adalah murid yang terus memelihara hubungan
pribadinya dengan Tuhan. Itu yang Tuhan kehendaki ketika kita menjalankan tugas
didunia ini menjadi terang dan menjadi garam dunia. Dua hal yang paralel Tuhan
ingatkan, berfungsi menjadi terang dan berfungsi memberi pengaruh yang positif
seperti dikatakan-Nya di dalam Matius 5:13-14
"Kamu adalah garam dunia….”
Dan “Kamu adalah terang dunia.” Tuhan
tidak meminta kita ‘menjadi’ garam atau ‘menjadi’ terang, tetapi Tuhan
tegaskan kita ‘adalah’ terang dan garam itu ! Murid yang yang tidak bisa
hadir sebagai terang dan garam adalah murid yang telah melupakan atau lari dari
panggilannya.
Sebuah
panggilan adalah ajakan untuk mengikuti. Ketika Yesus berkata, “Ikutlah aku…” (walk after me) dibutuhkan kepatuhan dan
kesetiaan. Itu bukan jalan yang mudah dilalui. Tidak mengherankan murid-murid
berguguran di tengah jalan dan kehilangan kesetiaan mereka. Mengikuti berarti
berada di belakang. Orang-orang menjadi kehilangan kesetiaan mereka manakala
sesuatu yang mereka ikuti itu telah menggantikan posisi yang seharusnya
ditempati Kristus. Kita semua ingat bagaimana konflik batin yang dialami
seorang muda, yang datang pada Yesus dan meminta untuk menjadi murid-Nya. Yesus
berkata kepadanya, “Jikalau engkau hendak
sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada
orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah
ke mari dan ikutlah Aku." Ketika orang muda itu mendengar perkataan itu,
pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya (Matius 19:21-22). Banyak
dari kita mengikuti jejak orang muda itu dan menjadi sedih. Penulis Injil
Matius dengan tepat mendeskripsikan perasaan sedih orang muda itu dengan kata lypeo, sebuah kesedihan yang sangat
dalam disertai dengan perasaan berat hati.[4] Mengapa?
Karena kita lebih setia pada hal-hal materi daripada panggilan kekekalan. Kita
lebih memilih menjadikan materi, sebagai sesuatu yang ada di depan untuk
diikuti, daripada Yesus. Bagaimana kita berfungsi sebagai terang dan garam
dunia manakala dunia justru menjadi panutan di dalam menuntaskan panggilan-Nya?
Sidang Senat, para Civitas Akademika dan hadirin
yang berbahagia,
Saya
ingin mengakhiri orasi ini dengan sebuah kisah yang meskipun tidak terdapat di
dalam Injil tetapi telah menjadi sebuah tradisi yang kuat di dalam gereja,
mengenai seorang murid Kristus, menuntaskan panggilan tugasnya untuk
menggembalakan domba-domba-Nya, di tengah aniaya yang mengancam jiwanya. Ia
mengalami satu titik dimana, sebetulnya hampir memilih jalan lain, yaitu
melarikan diri.
Murid
itu bernama Rasul Petrus, sosok yang pernah dinubuatkan Yesus menjadi batu
karang gereja. Ia bersiap melarikan diri, keluar dari kota Roma, karena aniaya
yang hebat melanda orang-orang Kristen di sana. Pada masa itu Nero menjadi
penguasa dan menjadi alat iblis untuk menghancurkan kekristenan. Orang-orang
Kristen diburu, ditangkap dan diumpankan ke binatang buas sebagai tontonan dan
kesenangan. Tubuh mereka diikat pada tiang, disiram minyak kemudian disulut api
untuk menjadi obor sehingga tempat pesta orang Romawi menjadi terang.
Aniaya
yang luar biasa melanda seluruh orang Kristen di Roma. Inilah yang menjadi
alasan Petrus didesak meninggalkan kota itu. Apalagi, Tigellinus, komandan
pasukan Nero telah bertekad untuk mengejar dan menangkap Petrus karena dianggap
sebagai tokoh dibalik berkembangnya kekristenan di kota Roma. Panglima ini
mendapat legalitas penuh untuk melakukan tugasnya. Orang-orang Kristen di Roma
segera mencari cara menyembunyikan Petrus dan mendesak-nya melarikan diri.
Tradisi mencatat dalam sebuah usaha pelarian, Petrus disertai oleh Nazarius dan
sejumlah orang Kristen lainnya. Mereka beranggapan bahwa kekristenan harus
bertahan dan menyelamatkan Petrus adalah bagian penting. Orang-orang Kristen
beranggapan bahwa Petrus sebagaimana dinubuatkan Tuhan, adalah batu karang
tempat mendirikan gereja. Ketika kekristenan di Roma hancur maka Petrus dapat
memulainya di tempat lain dimana injil bebas diberitakan, sehingga gereja tetap
berdiri.
Sebetulnya
Petrus tidak mau atau berkehendak meninggalkan Roma. Tetapi desakan dan
pengertian yang diberikan oleh orang-orang yang sedang teraniaya itu membuatnya
harus bergegas pergi. Tetapi sesuatu terjadi. Saat tiba di gerbang kota pada
jalan yang lurus, Petrus tiba-tiba mendapat penglihatan. Langkah mereka
terhenti. Kejadian itu mengherankan orang-orang disekitarnya, karena hanya
Petrus yang menyaksikannya. Tiba-tiba dari arah depan, muncul sebuah cahaya
yang sangat terang. Petrus berhenti dan menutup mata dengan tangan-nya karena
silau. Rasul ini berkata, “Ada orang datang kepada kita dari arah depan melalui
sinar Matahari.” Tetapi sekali lagi, penglihatan itu hanya untuk Petrus.
Nazarinus dan orang-orang lain, tidak melihat siapapun dan tidak mendengar langkah
kaki manusia. Petrus seperti orang yang terkejut dan tertegun pada sosok yang
didepannya. Petrus jatuh berlutut sambil berteriak dengan suara yang keras
sambil mengulurkan kedua tangannya pada sosok di depannya, “Kristus…Kristus…!” Lalu
ia tertelungkup seakan sedang mencium kaki seseorang. Keadaan sepi. Nazarinus
terdiam menyaksikan peristiwa itu dan membiarkan Petrus. Beberapa saat
kemudian, terdengar isak tangis Petrus dan dengan suara terputus-putus Petrus
berkata, “Quo vadis, Domine? - Tuhan, kemanakah engkau pergi?”. Nazarinus tidak mendengar jawaban atas
pertanyaan Petrus itu, tetapi ditelinga Petrus terdengar satu jawaban yang
disampaikan dengan lirih dan lembut, “Roman vado iterum crucifigi - Aku
pergi ke Roma, untuk disalibkan kedua kalinya.” Mendengar perkataan itu,
tiba-tiba Petrus berdiri dan berbalik arah kembali ke kota. Nazarius mengulangi
kata-kata itu, “Quo vadis, Domine?” dan
Petrus menjawab, “Ad Roman.” Lalu
mereka berjalan kembali ke arah kota Roma. Ungkapan ini muncul beberapa kali
dalam terjemahan Alkitab Vulgata[5],
seperti dalam Yohanes 13:36 - Simon Petrus berkata kepada Yesus:
"Tuhan, ke manakah Engkau pergi?" Jawab Yesus: "Ke tempat Aku
pergi, engkau tidak dapat mengikuti Aku sekarang, tetapi kelak engkau akan
mengikuti Aku."
Akhirnya,
Petrus kembali ke Roma. Ia memilih pikul salilb dengan resiko terberat,
ditangkap dan kehilangan nyawa. Dan ia
benar-benar mengalaminya. Di kota itu Petrus menjadi martir. Petrus dijatuhi
hukuman mati dengan cara disalib. Detik-detik saat ia disalibkan, Petrus memohon,
“Aku tidak layak mati dengan cara Tuhanku mati!” Maka para prajurit Roma, akhirnya
menyalibkannya terbalik, dengan posisi kepala di bawah dan kaki di atas.
Ketua
Senat, Bapak/Ibu anggota senat, hadirin,
dan seluruh wisudawan/wati dan civitas akademika STA Jember yang saya hormati,
Kepada
kita semua, kiranya kesaksian ini dapat menjadi bahan permenungan. Petrus sudah
lama mati. Pertanyaan yang harus dijawab adalah, seandainya kita, menjadi
Petrus yang berhadapan dengan masalah yang sama hari ini, apakah kita melangkahkan
kaki keluar dari Roma atau berbalik kembali menuju ke sana, dengan segala
resikonya? Siapkah kita mengabdi secara total kepada Kristus melalui usaha
memikul salib? Biarlah itu menjadi beban pikiran kita, hingga menemukan satu
jawaban yang akan kita pertanggung jawabkan dihadapan Tuhan, yang telah
memanggil kita.
Quo vadis,
Domine?
[1] Sonny
Eli Zaluchu, lahir di Gunung Sitoli
Nias, Sumatera Utara. Menyelesaikan M.A dalam Kepemimpinan Kristen tahun 2001;
D.Min dalam Leadership and Social
Transformation dari Harvest
International Theological Seminary Jakarta tahun 2006, sebagai lulusan terbaik. Mengambil kajian Biblika Sekolah Tinggi Theologia Baptis Indonesia (STBI Semarang) untuk
program M.Th dan menyelesaikannya tahun 2010. Program Doctor of Theology (D.Th)
di STBI diselesaikannya dua tahun kemudian pada tahun 2012 dengan predikat Summa Cum Laude. Tinggal di Semarang
bersama isteri dan tiga anak laki-laki. Selain mengajar sebagai dosen di
beberapa Sekolah Tinggi Teologia (STT), juga menjadi Gembala Sidang G2CC – Golden Gate City Blessing Church
Semarang. Buku yang pernah ditulis antara lain: Prajurit Peperangan Rohani
(Nafiri Gabriel, Jakarta); Pemimpin Pertumbuhan Gereja (Kalam Hidup, Bandung),
Penglihatan (Kalam Hidup, Bandung), Intrik Dalam Gereja (Metanoia, Jakarta),
Kesembuhan (Metanoia, Jakarta), Membawa Kegerakan Allah di dalam Gereja
(Penerbit Andi, Yogyakarta), Bangkit dari Stagnasi Rohani (Penerbit Andi,.
Yogyakarta), Biblical Theology (Sinai Publisher, Semarang), Holyland: Jejak
Kaki Tuhan di Tanah Suci (Golden Gate Publishing, Semarang). Dapat dihubungi
lewat email di gloryofgodmin@gmail.com.
[2]
Os Guinness, The Calling (Bandung:
Pionir Jaya, 2011), 15.
[3]
Richard Clinton dan Paul Leavenworth, Memulai
Dengan Baik (Jakarta: Metanoia, 2004), 16-17.
[4] Stephen D. Renn
(Ed.), Expository Dictionary of Bible
Words (Massachussets: Hendrickson Publisher, 2010), 917.
[5]
Terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Latin yang dikerjakan oleh Hieronimus.
Komentar
Posting Komentar