JALAN KELUAR DALAM PENCOBAAN
Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya. (1 Kor 10:13)
Tadi malam dalam perjalanan kereta api menuju Bandung, saya menerima sms dari seseorang yang ditulis seperti ini. “Om Sonny, apa gunanya hidup ini kalau terus menerus kita menghadapi kesukaran demi kesukaran”. Saya tidak kaget dengan sms tersebut sebab berkali-kali, pernyataan keputusasaan semacam itu, sering saya dengar dari anak-anak Tuhan yang sedang bergumul dan menghadapi persoalan. Ketika masalah datang, maka kecenderungan yang terjadi adalah, kalau tidak mempertanyakan Tuhan di dalam situasi sulit, orang Kristen memilih kehilangan harapan (hopeless). Bahkan mungkin kita juga pernah mengalaminya. Respon yang muncul saat menghadapi masalah atau situasi yang sulit, bukanlah respon yang seharusnya Tuhan kehendaki sebagai orang beriman, melainkan respon yang negatif seperti bersungut-sungut, mengutuki diri sendiri atau meratapi nasib. Bahkan, menyalahkan orang lain seperti pengalaman bangsa Israel yang selalu menuding Musa atau menyalahkan Allah, saat mereka menghadapi masalah.
Harus disadari bahwa selama kita hidup, yang namanya masalah, memang akan selalu ada dan menjadi bagian dari kehidupan. Hanya orang mati yang tidak bermasalah. Oleh sebab itu, perspektif kita mengenai masalah haruslah berada di tempat yang benar dan seharusnya. Kita tidak boleh menampik masalah yang ‘kebetulan’ datang di dalam kehidupan kita atau yang sedang kita hadapi. Masalah adalah bagian dari siklus kehidupan. Maka dari itu, setiap kali kita menghadapi tekanan, persoalan dan masalah, sangat tidak tepat memberikan respon yang salah dengan cara menyalahkan situasi atau menghindarinya (dengan cara lari) atau mencari kambing hitam (orang lain atau Tuhan).
Masalah haruslah dihadapi, terlebih jika masalah itu merupakan ‘buah’ dari perilaku atau sikap kita sendiri. Terkadang manusia kurang menyadari bahwa masalah datang justru karena dirinya membuka celah. Maka ketika berada di dalam situasi yang sulit, sebetulnya itu kesempatan bagi kita untuk merenung dan retrospeksi, hal-hal apa saja yang harus kita perbaiki di dalam hidup ini. Ingat, masalah bisa terjadi karena kesalahan kita sendiri. Untuk itulah, kita harus memperbaiki diri. Kalau tidak segera instropeksi dan bertobat, maka seperti orang Islam katakan, azab akan datang di dalam hidup kita. Hukuman Tuhan selalu tersedia sebagai konsekuensi bagi anak-anakNya yang tidak taat dan mengalami pertobatan. Tetapi, masalah juga dapat muncul karena Tuhan sedang membentuk kita. Seringkali hal ini tidak terpahami. Ketika semua baik dan berjalan dengan lancar, juga tidak ada celah yang terbuka, tiba-tiba sesuatu terjadi. Tanpa diduga-duga, pencobaan datang. Seperti dialami Ayub, Tuhan seringkali mengijinkan kita mengalami hal tersebut untuk menguji kualitas hati kita dihadapanNya dan membawa kita di dalam a next level. Oleh sebab itu, saat pencobaan datang, kita tidak boleh gegabah dan terburu-buru menyatakan respon alamiah atau kedagingan kita seperti, ya sms di atas, kecewa, putus asa atau kehilangan harapan.
Masalah adalah bagian dari kehidupan. Kita tidak dapat mengelaknya. Yang dapat kita lakukan adalah perspektif kita tentang apa yang sedang terjadi harus dibaharui. Masalah seringkali muncul di dalam pikiran kita. Untuk menganggapnya besar atau kecil, maka filternya ada di dalam pikiran manusia. Banyak filsuf berpendapat bahwa, masalah yang sesungguhnya tidak terletak pada keadaan atau kejadian yang berlaku, melainkan pada respon manusia terhadap keadaan tersebut. Dan itu, dimulai di dalam pikiran. Benar sekali kata Rasul Paulus bahwa kita harus memperbaharui cara pikir kita. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu (Roma 12:2)
Arti dari ayat itu adalah, orang percaya tidak boleh mengijinkan dunia membentuk cara berpikir kita (to conform). Kita tidak boleh meniru cara berpikir dunia dalam merespon segala sesuatu yang berlangsung di sekeliling kita. Cara berpikir Allah, itulah yang harus melekat di dalam diri kita. Masalah datang sebagai kesempatan bagi kita memperbaiki diri di hadapanNya atau justru untuk membentuk kita di level kehidupan rohani yang naik tingkatannya. Bahkan mungkin sebagai jalan Allah untuk menyatakan mujizat atau kuasa pertolonganNya. Sakit penyakit, persoalan ekonomi, keterikatan adalah masalah. Tetapi tidak akan ada kesembuhan, kelepasan atau berkat Allah, tanpa manusia berada di dalam masalah-masalah yang mendahului pekerjaan Allah itu. Kita perlu melihat masalah di dalam perspektif Allah !
Satu hal yang sangat penting kita sadari adalah, sekalipun masalah itu datang dan menjadi pergumulan kita, pencobaan-pencobaan itu dikatakan sebagai pencobaan yang biasa. Standardnya adalah tidak melebihi kekuatan manusia. Kalau misalnya anda kuatnya 100 kg maka tidak akan diberikan melebihi ambang batas kemampuan anda. Itulah uniknya Tuhan. Alkitab bahasa latin lebih jelas lagi. Kata ‘biasa’ di dalam ayat tersebut di atas menggunakan kata humana. Artinya, persoalan-persoalan yang wajar dialami oleh manusia selama dia hidup. Dengan demikian, kita sebetulnya tidak dapat menghindari masalah. Kita justru hidup di dalamnya, menghadapinya dan bertahan dengan pertolongan Tuhan
JALAN KELUAR
Jalan keluar adalah bagian paling favorit orang yang bermasalah atau berada di dalam pencobaan. Tentu tidak ada yang mau berlama-lama berada di dalam situasi yang sulit tersebut. Coba kita perhatikan lagi firman yang tertulis itu. Dikatakan bahwa Pada waktu kita dicobai Tuhan akan memberikan kepada kita jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.
Pertama, ayat tersebut memberikan perspektif kesetiaan Allah kepada anak-anakNya. Allah memiliki kesetiaan, juga pada mereka-mereka yang berada di dalam pencobaan (tanpa mempedulikan pencobaan itu terjadi karena apa). Itu sebabnya, pikiran kita harus dibaharui lagi dengan selalu mengingat bahwa kita sebetulnya, TIDAK SENDIRIAN menghadapi berbagai pergumulan hidup. Allah ada dan setia menemani kita.
Tetapi masalahnya adalah, kita selalu merasa sendiri! Tipikal orang semacam ini adalah ‘orang percaya yang tidak percaya’. Kalau kita percaya bahwa Allah berada di dalam segala situasi maka kitapun harus percaya Ia akan bertindak dan melakukan bagiannya. Tetapi seringkali yang muncul adalah respon manusia yang bertindak sebaliknya. Ketika bermasalah, berada di dalam pencobaan, justru menjauh dan lari dari Allah. Kesetiaan Allah tidak akan dinyatakan di dalam diri orang-orang yang seperti itu. Kita perlu belajar mendekat kepada Allah dan berlindung padaNya. Orang yang memiliki hubungan dengan Allah adalah orang yang percaya pada tuntunan tanganNya dan perlindunganNya. Saya ingat Daud di dalam Mazmur 23, Ia dengan berani berkata bahwa Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Pernyataan semacam ini muncul dari sebuah hubungan yang dalam dengan Tuhan. Orang-orang yang lari dari Tuhan sewaktu bermasalah sebetulnya adalah orang-orang yang tidak punya hubungan cukup dalam dengan Dia. Semakin kita mengenalNya, maka semakin kita akan merasakan kesetiaanNya. Bagaimana dengan anda? Ketika kita melihat bahwa segala yang terjadi membawa kita pada ketidakpastian atau ketidaktahuan, maka seperti Hudson Taylor katakan, kita harus menyerahkan diri kita kepada Allah yang pasti, yang merancangkan segala sesuatu yang baik bagi anak-anakNya. Kesetiaan itu sifatnya teruji. Dan ujian yang paling baik terhadap kesetiaan, adalah masalah. Kalau Allah sudah mneyatakan bahwa Ia setia, maka kitapun perlu memberi respon kesetiaan kepadaNya. Itulah titik di mana Dia akan bertindak mengambil alih segala sesuatu. Ketika segala sesuatu tampak tidak dimengerti, maka kita harus mendekat kepada Allah yang mengerti segala sesuatu.
Yang menarik adalah, Allah tidak berjanji untuk membawa kita lepas atau terhindar dari masalah. Janji Allah adalah, dengan kesetiaanNya, Ia akan memberikan kita jalan keluar (the way out). Ingat, kebutuhan orang yang bermasalah, adalah sebuah jalan keluar! Seringkali kita berkata, dan juga berdoa dengan cara seperti ini. “Tuhan, singkirkan masalah ini daripadaku sebab saya tidak kuat lagi menghadapinya” Sekilas kalimat tersebut bagus kedengarannya dan terdengar penuh pengharapan. Tetapi, maaf, itu tidak alkitabiah. Tuhan tidak menyingkirkan masalah. Dia melatih kita dengan masalah. Dia mau kita menghadapinya dan kuat di dalamnya. Bukan justru lari dan menghindari masalah. Jalan keluar terhadap masalah hanya di dapatkan di dalam masalah. Jalan keluar itu punya tiga sifat, yakni : jalan keluar yang sesuai dengan kehendakNya (bukan dengan kehendak kita); yang sesuai degan caraNya (bukan dengan cara yang kita mau); dan yang sesuai dengan waktuNya (bukan pada waktu kita sebab Dia tidak pernah terlambat. Artinya kalau anda masih berada di dalam ‘proses’ ini, berarti masih kuat menanggungnya.)
Jadi, teman-teman, hadapi masalahmu, sebab itu tidak akan melebihi ketahananmu. Dia memberikan kekuatan, energi dan jalan keluar. Pada waktu keluar dari masalah dan mencoba melihat kembali ke belakang, maka dengan cepat kitapun akan mengerti, apa sebetulnya yang menjadi rencanaNya. (Istana Regency - Bandung)
Tadi malam dalam perjalanan kereta api menuju Bandung, saya menerima sms dari seseorang yang ditulis seperti ini. “Om Sonny, apa gunanya hidup ini kalau terus menerus kita menghadapi kesukaran demi kesukaran”. Saya tidak kaget dengan sms tersebut sebab berkali-kali, pernyataan keputusasaan semacam itu, sering saya dengar dari anak-anak Tuhan yang sedang bergumul dan menghadapi persoalan. Ketika masalah datang, maka kecenderungan yang terjadi adalah, kalau tidak mempertanyakan Tuhan di dalam situasi sulit, orang Kristen memilih kehilangan harapan (hopeless). Bahkan mungkin kita juga pernah mengalaminya. Respon yang muncul saat menghadapi masalah atau situasi yang sulit, bukanlah respon yang seharusnya Tuhan kehendaki sebagai orang beriman, melainkan respon yang negatif seperti bersungut-sungut, mengutuki diri sendiri atau meratapi nasib. Bahkan, menyalahkan orang lain seperti pengalaman bangsa Israel yang selalu menuding Musa atau menyalahkan Allah, saat mereka menghadapi masalah.
Harus disadari bahwa selama kita hidup, yang namanya masalah, memang akan selalu ada dan menjadi bagian dari kehidupan. Hanya orang mati yang tidak bermasalah. Oleh sebab itu, perspektif kita mengenai masalah haruslah berada di tempat yang benar dan seharusnya. Kita tidak boleh menampik masalah yang ‘kebetulan’ datang di dalam kehidupan kita atau yang sedang kita hadapi. Masalah adalah bagian dari siklus kehidupan. Maka dari itu, setiap kali kita menghadapi tekanan, persoalan dan masalah, sangat tidak tepat memberikan respon yang salah dengan cara menyalahkan situasi atau menghindarinya (dengan cara lari) atau mencari kambing hitam (orang lain atau Tuhan).
Masalah haruslah dihadapi, terlebih jika masalah itu merupakan ‘buah’ dari perilaku atau sikap kita sendiri. Terkadang manusia kurang menyadari bahwa masalah datang justru karena dirinya membuka celah. Maka ketika berada di dalam situasi yang sulit, sebetulnya itu kesempatan bagi kita untuk merenung dan retrospeksi, hal-hal apa saja yang harus kita perbaiki di dalam hidup ini. Ingat, masalah bisa terjadi karena kesalahan kita sendiri. Untuk itulah, kita harus memperbaiki diri. Kalau tidak segera instropeksi dan bertobat, maka seperti orang Islam katakan, azab akan datang di dalam hidup kita. Hukuman Tuhan selalu tersedia sebagai konsekuensi bagi anak-anakNya yang tidak taat dan mengalami pertobatan. Tetapi, masalah juga dapat muncul karena Tuhan sedang membentuk kita. Seringkali hal ini tidak terpahami. Ketika semua baik dan berjalan dengan lancar, juga tidak ada celah yang terbuka, tiba-tiba sesuatu terjadi. Tanpa diduga-duga, pencobaan datang. Seperti dialami Ayub, Tuhan seringkali mengijinkan kita mengalami hal tersebut untuk menguji kualitas hati kita dihadapanNya dan membawa kita di dalam a next level. Oleh sebab itu, saat pencobaan datang, kita tidak boleh gegabah dan terburu-buru menyatakan respon alamiah atau kedagingan kita seperti, ya sms di atas, kecewa, putus asa atau kehilangan harapan.
Masalah adalah bagian dari kehidupan. Kita tidak dapat mengelaknya. Yang dapat kita lakukan adalah perspektif kita tentang apa yang sedang terjadi harus dibaharui. Masalah seringkali muncul di dalam pikiran kita. Untuk menganggapnya besar atau kecil, maka filternya ada di dalam pikiran manusia. Banyak filsuf berpendapat bahwa, masalah yang sesungguhnya tidak terletak pada keadaan atau kejadian yang berlaku, melainkan pada respon manusia terhadap keadaan tersebut. Dan itu, dimulai di dalam pikiran. Benar sekali kata Rasul Paulus bahwa kita harus memperbaharui cara pikir kita. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu (Roma 12:2)
Arti dari ayat itu adalah, orang percaya tidak boleh mengijinkan dunia membentuk cara berpikir kita (to conform). Kita tidak boleh meniru cara berpikir dunia dalam merespon segala sesuatu yang berlangsung di sekeliling kita. Cara berpikir Allah, itulah yang harus melekat di dalam diri kita. Masalah datang sebagai kesempatan bagi kita memperbaiki diri di hadapanNya atau justru untuk membentuk kita di level kehidupan rohani yang naik tingkatannya. Bahkan mungkin sebagai jalan Allah untuk menyatakan mujizat atau kuasa pertolonganNya. Sakit penyakit, persoalan ekonomi, keterikatan adalah masalah. Tetapi tidak akan ada kesembuhan, kelepasan atau berkat Allah, tanpa manusia berada di dalam masalah-masalah yang mendahului pekerjaan Allah itu. Kita perlu melihat masalah di dalam perspektif Allah !
Satu hal yang sangat penting kita sadari adalah, sekalipun masalah itu datang dan menjadi pergumulan kita, pencobaan-pencobaan itu dikatakan sebagai pencobaan yang biasa. Standardnya adalah tidak melebihi kekuatan manusia. Kalau misalnya anda kuatnya 100 kg maka tidak akan diberikan melebihi ambang batas kemampuan anda. Itulah uniknya Tuhan. Alkitab bahasa latin lebih jelas lagi. Kata ‘biasa’ di dalam ayat tersebut di atas menggunakan kata humana. Artinya, persoalan-persoalan yang wajar dialami oleh manusia selama dia hidup. Dengan demikian, kita sebetulnya tidak dapat menghindari masalah. Kita justru hidup di dalamnya, menghadapinya dan bertahan dengan pertolongan Tuhan
JALAN KELUAR
Jalan keluar adalah bagian paling favorit orang yang bermasalah atau berada di dalam pencobaan. Tentu tidak ada yang mau berlama-lama berada di dalam situasi yang sulit tersebut. Coba kita perhatikan lagi firman yang tertulis itu. Dikatakan bahwa Pada waktu kita dicobai Tuhan akan memberikan kepada kita jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.
Pertama, ayat tersebut memberikan perspektif kesetiaan Allah kepada anak-anakNya. Allah memiliki kesetiaan, juga pada mereka-mereka yang berada di dalam pencobaan (tanpa mempedulikan pencobaan itu terjadi karena apa). Itu sebabnya, pikiran kita harus dibaharui lagi dengan selalu mengingat bahwa kita sebetulnya, TIDAK SENDIRIAN menghadapi berbagai pergumulan hidup. Allah ada dan setia menemani kita.
Tetapi masalahnya adalah, kita selalu merasa sendiri! Tipikal orang semacam ini adalah ‘orang percaya yang tidak percaya’. Kalau kita percaya bahwa Allah berada di dalam segala situasi maka kitapun harus percaya Ia akan bertindak dan melakukan bagiannya. Tetapi seringkali yang muncul adalah respon manusia yang bertindak sebaliknya. Ketika bermasalah, berada di dalam pencobaan, justru menjauh dan lari dari Allah. Kesetiaan Allah tidak akan dinyatakan di dalam diri orang-orang yang seperti itu. Kita perlu belajar mendekat kepada Allah dan berlindung padaNya. Orang yang memiliki hubungan dengan Allah adalah orang yang percaya pada tuntunan tanganNya dan perlindunganNya. Saya ingat Daud di dalam Mazmur 23, Ia dengan berani berkata bahwa Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Pernyataan semacam ini muncul dari sebuah hubungan yang dalam dengan Tuhan. Orang-orang yang lari dari Tuhan sewaktu bermasalah sebetulnya adalah orang-orang yang tidak punya hubungan cukup dalam dengan Dia. Semakin kita mengenalNya, maka semakin kita akan merasakan kesetiaanNya. Bagaimana dengan anda? Ketika kita melihat bahwa segala yang terjadi membawa kita pada ketidakpastian atau ketidaktahuan, maka seperti Hudson Taylor katakan, kita harus menyerahkan diri kita kepada Allah yang pasti, yang merancangkan segala sesuatu yang baik bagi anak-anakNya. Kesetiaan itu sifatnya teruji. Dan ujian yang paling baik terhadap kesetiaan, adalah masalah. Kalau Allah sudah mneyatakan bahwa Ia setia, maka kitapun perlu memberi respon kesetiaan kepadaNya. Itulah titik di mana Dia akan bertindak mengambil alih segala sesuatu. Ketika segala sesuatu tampak tidak dimengerti, maka kita harus mendekat kepada Allah yang mengerti segala sesuatu.
Yang menarik adalah, Allah tidak berjanji untuk membawa kita lepas atau terhindar dari masalah. Janji Allah adalah, dengan kesetiaanNya, Ia akan memberikan kita jalan keluar (the way out). Ingat, kebutuhan orang yang bermasalah, adalah sebuah jalan keluar! Seringkali kita berkata, dan juga berdoa dengan cara seperti ini. “Tuhan, singkirkan masalah ini daripadaku sebab saya tidak kuat lagi menghadapinya” Sekilas kalimat tersebut bagus kedengarannya dan terdengar penuh pengharapan. Tetapi, maaf, itu tidak alkitabiah. Tuhan tidak menyingkirkan masalah. Dia melatih kita dengan masalah. Dia mau kita menghadapinya dan kuat di dalamnya. Bukan justru lari dan menghindari masalah. Jalan keluar terhadap masalah hanya di dapatkan di dalam masalah. Jalan keluar itu punya tiga sifat, yakni : jalan keluar yang sesuai dengan kehendakNya (bukan dengan kehendak kita); yang sesuai degan caraNya (bukan dengan cara yang kita mau); dan yang sesuai dengan waktuNya (bukan pada waktu kita sebab Dia tidak pernah terlambat. Artinya kalau anda masih berada di dalam ‘proses’ ini, berarti masih kuat menanggungnya.)
Jadi, teman-teman, hadapi masalahmu, sebab itu tidak akan melebihi ketahananmu. Dia memberikan kekuatan, energi dan jalan keluar. Pada waktu keluar dari masalah dan mencoba melihat kembali ke belakang, maka dengan cepat kitapun akan mengerti, apa sebetulnya yang menjadi rencanaNya. (Istana Regency - Bandung)