ALLAH KITA BESAR: SEMBUHLAH !
Sebab TUHAN maha besar dan terpuji sangat,
Ia lebih dahsyat dari pada segala allah. (Maz 96:4)
Allah kita adalah Allah yang besar. Kebesaran Allah dengan segala kuasaNya adalah sebuah cara pandang kita dalam menerima dan memahami eksistensi diriNya. Ketakberdayaan kita menghadapi masalah terjadi karena kita terlalu memberi tempat pada masalah-masalah itu dan memandangnya sebagai sesuatu yang besar. Saking besarnya, kapasitasnya melebihi kebesaran Allah di dalam cara pandang kita. Diawali dalam pikiran kita sendiri. Kita membangun suatu sistem berfikir yang memihak segala bentuk permasalahan dan pergumulan, daripada memberi tempat pada Allah, sumber segala penyelesaian masalah.
Singkirkan Pengaruh Dunia
Memang demikianlah cara pandang dunia. Rasio, logika dan perasaan menjadi faktor utama yang mengendalikan pikiran kita daripada menyadari betapa pentingnya Allah bagi kita. Cara berfikir kita telah membuat kita menjadi serupa dengan dunia. Warna kulit kita mulai beradaptasi dengan lingkungan tempat kita berada. Sifat bunglon telah masuk ke dalam saraf pusat kita sedemikian dalam sehingga sifat kerohanian kita lebih duniawai daripada Ilahi. Gaya hidup dunia memang berbeda dengan sifat-sifat Ilahi. Dunia membiasakan kita untuk mengandalkan diri sendiri. Pencapaian prestasi yang diukur melalui kompetisi pribadi yang ketat, telah menghilangkan kesadaran Allah di dalam diri kita, dan akhirnya membuat kita lupa, bahwa Allah turut berperan di dalam segala hal.
Pengaruh dunia sangat kuat dan kita harus lebih kuat daripada dunia. Sebab tugas kita adalah mempengaruhi dunia! Kita seharusnya menjaga jarak dengan dunia, bukan malah ikut terhanyut dengan gaya hidup dunia. Sebab, sebagai anak-anak Allah, kita dilahirkan berbeda dan sudah seharusnya berbeda dengan dunia. Rasul Paulus mengingatkan kita untuk
“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah
oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan
manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah
dan yang sempurna (Roma 12:2).
Dunia menjanjikan banyak hal tetapi tidak semua yang dunia janjikan itu, berkenan kepada Allah. Oleh sebab itu, ukuran dunia tidak tepat jika diukurkan kembali kepada Allah.
Cara pandang kita terhadap Allah maupun cara kerjaNya harus diralat. Allah yang kita miliki jauh lebih besar daripada masalah yang paling besar sekalipun di dalam dunia ini. Termasuk di dalamnya masalah karena penyakit. Dia lebih besar dari segalanya. Jadi kalau Allah maha besar, maka semua persoalan dan penyakit yang kita miliki sesungguhnya tidak berarti apa-apa bagi Dia. Layaknya sebutir debu dibandingkan galaksi bima sakti, tempat dimana sistem tata surya kita berada, semua masalah kita, sesungguhnya sangatlah kecil di mata Tuhan. Jadi mengapa kita harus memandang masalah atau penyakit yang kita miliki sebagai sesuatu yang besar sehingga melebihi kebesaran Allah?
Pikiran: Problema yang Utama
Problema kita yang utama terletak di dalam pikiran kita, yang sudah melekat di dalam sistem dunia. Munculnya ketakutan dan kekuatiran di dalam setiap masalah adalah dampak dari pola pikir yang salah terhadap Allah. Bahkan ironisnya, kita seringkali melupakan Allah sewaktu berada di dalam sebuah persoalan. Pikiran kita lebih terfokus pada masalah dan menyingkirkan Allah.
Cara pandang kita terhadap Allah, harus diakui, ikut menentukan bagaimana posisi kita di hadapanNya. Apakah sungguh-sungguh mengandalkanNya atau malat tidak menganggapNya ada. Kalau kita melihatNya sebagai Maha Besar, maka apapun masalah kita tidak berarti dihadapanNya dan kita dapat tinggal tenang, berharap kepadaNya. Pikiran akan membangun konstruksi bahwa Dia tidak pernah meninggalkan kita dan tidak perlu takut kehilanganNya di saat-saat sulit sekalipun. Inilah yang disebut harapan. Dia ada dan keberadaannya memberi kepada kita harapan!
“Ia tidak akan meninggalkan atau memusnahkan engkau dan
Ia tidak akan melupakan perjanjian yang diikrarkan-Nya
dengan sumpah kepada nenek moyangmu (De 4:31)”
Coba pikirkan dan renungkan hal ini baik-baik. KebesaranNya adalah sesuatu yang mutlak dan menginduksi apapun yang berada di dalam “kebesaranNya” itu. Tanpa terkecuali. Semua berada di bawah pengaruh dan kendaliNya.
Dialah “Allah segala allah dan Tuhan segala tuhan, Allah yang besar,
kuat dan dahsyat, yang tidak memandang bulu ataupun menerima suap
(De 10:17).
Allah Kita Besar!
Masalah atau apapun itu namanya, Dia ijinkan terjadi untuk membentuk dan menguji, sejauh mana kita setia kepadaNya. Sumbernya bisa berasal dari Allah sendiri ataupun dari Iblis. Tetapi di dalam kebesaranNya yang kuat dan dahsyat itu, siapapun tidak akan dapat menandingi ketika Ia mulai turun tangan. Salah satu kunci kekuatan dan keberhasilan Daud adalah saat cara berfikirnya tentang Tuhan, berbeda dari pada sistem dunia, berbeda dengan apa yang ada di dalam benak Saul dan prajurit Israel lainnya yang tengah siaga perang melawan bangsa Filistin. Cara pandangnya terhadap Allah yang besar dan dahsyat itu, membuat Daud berani tampil ke depan mengalahkan Goliat.
Demikian pula saat Daud berada di dalam masalah “pribadi”. Pada mulanya dia takut. Daud merasa sendiri dan tidak berdaya. Dimana-mana dia dikelilingi oleh bukit.
“Kulayangkan mataku ke gunung-gunung, darimanakah akan datang
pertolonganku?” (Maz 121:1).
Kita seringkali berfikir sama seperti Daud. Kita cuma melihat bukit bukit ataupun gunung-gunung masalah dan penyakit kita, dan itu telah membuat stamina jasmani bahkan rohani menjadi drop. Fokus pada “gunung” akan membuat kita terseret di dalam arus deras dunia yang tidak memiliki pengharapan terhadap Allah. Sistem kepercayaan kita menjadi tereduksi.
Tetapi sewaktu terjadi perobahan pola pikir dan menyadari Allah yang maha besar, lebih besar dari segala-galanya, Daud dengan lantangnya berseru,
“Pertolonganku ialah dari Tuhan yang menjadikan langit dan bumi!
(Maz 121:2)”.
Kita harus mampu melakukan perubahan radikal di dalam pola pikir kita jika kita mau menerima kuasa urapannya dan berada di dalam pengaruhnya yang besar. Kita harus berani berkata bahwa pertolongan kita adalah dari Allah. Sewaktu Dia dipihak kita, siapakah lawan kita? Apapun masalah yang kita hadapi, kalau kita berfikir bahwa Allah yang kita miliki jauh melebih semuanya itu, kita tidak akan pernah kehilangan pengharapan akan Dia bahwa Allah adalah sumber segalanya termasuk apa yang disebut dengan pertolongan.
Pertolongan Allah akan menjadikan kita kuat dan membawa pada kemenangan. Bahkan membuat kita tampil lebih dari pemenang. Bahkan Ia yang akan “berperang” melawan musuh-musuh kita yaitu penyakit, masalah, beban, Iblis, dsb.
“Dialah yang berjalan menyertai kamu untuk berperang bagimu
melawan musuhmu, dengan maksud memberikan kemenangan
kepadamu (De 20:4)”.
Dampak utama dari perubahan pola pikir kita sangat nyata. Dengan bersandar pada tangan Allah yang kuat, kita akan mampu dan dikuatkan melewati “kerikil” yang menjadi batu sandungan di depan kita. Dia menolong kita melewati dan mengatasi semuanya dan membawa kita kepada kemenangan besar.
Hadapi Badai Bersama Allah
Pola pikir akan membawa pengaruh pada isi hati kita. Pola pikir yang salah akan membuat kita goyah dan terombang-ambing tanpa suatu kepastian. Ibarat kapal, nahkoda tidak akan mampu membendung pengaruh gelombang dunia yang besar dan menakutkan. Kita bahkan takut berdiri di atas geladak dan memilih bersembunyi di dalam kamar kecil yang pengap. Tetapi jika kita mengambil keputusan untuk bersandar pada tangan Allah yang kuat, maka kita memiliki keberanian yang luar biasa menghadapi gelombang sebesar apapun. Kita mampu keluar dari kamar berdiri di geladak kapal untuk melihat lautan gelombang itu dan mampu mengencangkan kembali tali temali layar kapal kita yang kendur. Bahkan kita mampu berdiri dibalik kemudi kapal untuk mengendalikan laju kapal kehidupan kita. Sebab apa, bersama Allah, kita tidak kecut dan tidak tawar hati. Kemanapun kita pergi, dalam keadaan apapun, Tuhan menyertai. Kita harus membiarkan diri kita mengalir di dalam aliranNya yang dahsyat itu.
Penyertaan Tuhan membuat kita berani menghadapi keadaan bahkan membantu melepaskan diri dari keadaan itu. Roh Allah akan meniup layar kapal kita dan kita tinggal mengikuti aliran, kemana Dia membawa kita pergi.
Bukankah telah Kuperintahkan kepadamu: kuatkan dan teguhkanlah
hatimu? Janganlah kecut dan tawar hati, sebab TUHAN, Allahmu,
menyertai engkau, ke manapun engkau pergi." (Jos 1:9)
Setiap kita harus membangun pikiran yang melibatkan Allah. Bahwa sebagai anak-anak Tuhan, Dia tidak akan pernah membuang kita.
“Sebab TUHAN tidak akan membuang umat-Nya, sebab nama-
Nya yang besar. Bukankah TUHAN telah berkenan untuk membuat
kamu menjadi umat-Nya? (1Sa 12:22)”
Dia menjadi perisai yang membentengi kita dari segala macam serangan apapun dan menjadi matahari bagi kita untuk menerangi setiap serangan kegelapan terhadap kita. CahayaNya akan menyorot kita dan mengubah posisi kita dari gelap ke terang. Sebab dikatakanNya, di dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Di dalam Dia kita menjadi terang!
Lebih daripada itu, Allah punya kerinduan besar yang patut kita responi, bahwa Ia “tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela (Maz 84:12)”. Kita harus memastikan berada di posisi yang tepat untuk menerima kebaikan Allah yang sudah sangat tidak tertahan di dalam dirinya, dicurahkanNya buat kita.
Jangan Bergantung Pada Kolam Bethesda
Sakit adalah sebuah masalah kita! Bukan masalah Allah. Sakit seringkali melemahkan dan meruntuhkan kehidupan rohani orang-orang percaya hanya karena pola pikir yang belum diubahkan. Ini pandangan yang salah dan harus disadari oleh orang-orang yang ingin dijamah Allah. Ketika terjadi kesembuhan di kolam Bethesda, cara pandang orang tersebut telah menjadi serupa dengan dunia. Harapan satu-satunya adalah goncangan air kolam. Dia rela menunggu goncangan itu bertahun-tahun dan menantikan kesempatan pertama untuk terjun didalamnya. Tetapi dia tidak pernah memilikinya. Selama ia hanya berharap bahwa kesempatannya untuk sembuh hanya ada di kolam itu, tidak akan terjadi apa-apa di dalam dirinya, sebab ia tidak berdaya dan kalah bersaing dengan orang lain.
Sewaktu bertemu Yesus-pun, pola pikirnya yang belum berubah itu hampir saja membuat dirinya kehilangan momentum Ilahi dan tidak disembuhkan. Untunglah disaat-saat terakhir, dia menyadari bahwa sebetulnya dia tidak perlu tergantung dari orang lain yang membawanya turun ke kolam atau tidak harus menanti mujizat melalui kolam itu. Dia hanya perlu memposisikan diri di hadapan Yesus dan menerima karunia kesembuhan. Masalah yang dulu dianggap terlalu besar telah membuat ia membayar harga selama bertahun-tahun menghuni pinggir kolam. Tetapi perjumpaannya dengan Yesus, telah mengubah segala-galanya dan membuat hidupnya jadi berarti. Dia sembuh setelah menerima tawaran kesembuhan itu. Langkah pertama yang dilakukannya adalah merubah paradigma bahwa dia tidak perlu lagi bergantung pada goncangan air atau bopongan tangan orang lain.
Bercermin pada Bartimeus
Seperti hanya Bartimeus.
“Lalu tibalah Yesus dan murid-murid-Nya di Yerikho. Dan ketika
Yesus keluar dari Yerikho, bersama-sama dengan murid-murid-Nya
dan orang banyak yang berbondong-bondong, ada seorang pengemis
yang buta, bernama Bartimeus, anak Timeus, duduk di pinggir jalan
(Mr 10:46)”.
Bartimeus buta dan tidak berdaya. Tetapi cara berfikirnya tidak sama dengan sistem dunia. Banyak orang meremehkan dan menuding bahwa dia tidak bisa sembuh. Tetapi setiap hari, dia pasti mendengar berita tentang Yesus, seseorang yang memiliki kuasa dan mampu menyembuhkan. Dia tidak tahu siapa Yesus tetapi Bartimeus memiliki kerinduan untuk bertemu dengan Yesus sebab hanya dengan cara itulah dia bisa disembuhkan. Bartimeus ingin sembuh. Bartimeus tahu bahwa kesembuhan itu ada di dalam diri Yesus dan dia mengambil keputusan iman, bertemu dengan Yesus. Muncul harapan di dalam dirinya yang mengaktifkan imannya.
Bartimeus berpikir dengan cara berbeda. Maka ketika saatnya tiba, dia tidak ingin kehilangan momentum Ilahi. Cara berfikir Sorgawi menuntun dia “menemukan” Yesus di saat yang tepat. Bartimeus berseru dan berteriak-teriak memanggil Yesus. Dia tidak peduli apa pandangan orang disekelilingnya atas ulahnya itu. Dia terus berteriak memanggil Yesus di tengah keramaian. Orang-orang terganggu dengan polahnya dan berbalik menyuruhnya diam. Bartimeus tahu ini saatnya dan kesempatannya. Dia tahu bahwa apa yang dinantikannya selama ini tinggal beberapa jengkal di depan matanya yang buta. Dia terus berteriak dan teriakan ini meresonansi kekuatan spirituil di dalam diri Yesus sehingga memalingkan muka ke arah seseorang yang sedang bertindak dengan imannya. Bartimeus sembuh. Dia bisa melihat kembali dan orang pertama yang dilihatnya adalah Yesus. Sebuah sosok yang begitu besar yang ada di dalam hati dan pikirannya selama ini.
Bartimeus mengalami lawatan Allah karena dia memposisikan diri secara berbeda di dalam memanggil Allah. Orang-orang yang semula mengeliling Yesus paling paling hanya akan bertepuk tangan atau terkagum-kagum melihat tanda-tanda di dalam pelayanan Yesus. Tetapi Bartimeus memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh mereka. Orang-orang itu berfikir dan bertindak di atas permukaan. Mereka larut di dalam histeria Yesus, berada di dekatnya tetapi cara pandang mereka yang dunia telah membuat mereka kehilangan kesempatan memperoleh jamahan kasih karunia Yesus.
Jadi, kunci pertama untuk bergerak di dalam pelayanan kesembuhan atau menerima karunia kesembuhan adalah merubah paradigma kita dari masalah kepada Allah. Kita harus tetap berfokus kepada Allah yang besar. Berfokus kepada Yesus yang sudah berdiri disamping kita hingga ia mengerjakan sesuatu di dalam kita. Langkah pertama adalah merubah cara berfikir kita. Bukan dunia yang menjadi jawaban. Bukan sistem yang menjadi andalan dan bukan pula manusia atau prestasi. Tetapi hanya DIA sendiri yang mampu melakukan semuanya itu buat kita.
Ia lebih dahsyat dari pada segala allah. (Maz 96:4)
Allah kita adalah Allah yang besar. Kebesaran Allah dengan segala kuasaNya adalah sebuah cara pandang kita dalam menerima dan memahami eksistensi diriNya. Ketakberdayaan kita menghadapi masalah terjadi karena kita terlalu memberi tempat pada masalah-masalah itu dan memandangnya sebagai sesuatu yang besar. Saking besarnya, kapasitasnya melebihi kebesaran Allah di dalam cara pandang kita. Diawali dalam pikiran kita sendiri. Kita membangun suatu sistem berfikir yang memihak segala bentuk permasalahan dan pergumulan, daripada memberi tempat pada Allah, sumber segala penyelesaian masalah.
Singkirkan Pengaruh Dunia
Memang demikianlah cara pandang dunia. Rasio, logika dan perasaan menjadi faktor utama yang mengendalikan pikiran kita daripada menyadari betapa pentingnya Allah bagi kita. Cara berfikir kita telah membuat kita menjadi serupa dengan dunia. Warna kulit kita mulai beradaptasi dengan lingkungan tempat kita berada. Sifat bunglon telah masuk ke dalam saraf pusat kita sedemikian dalam sehingga sifat kerohanian kita lebih duniawai daripada Ilahi. Gaya hidup dunia memang berbeda dengan sifat-sifat Ilahi. Dunia membiasakan kita untuk mengandalkan diri sendiri. Pencapaian prestasi yang diukur melalui kompetisi pribadi yang ketat, telah menghilangkan kesadaran Allah di dalam diri kita, dan akhirnya membuat kita lupa, bahwa Allah turut berperan di dalam segala hal.
Pengaruh dunia sangat kuat dan kita harus lebih kuat daripada dunia. Sebab tugas kita adalah mempengaruhi dunia! Kita seharusnya menjaga jarak dengan dunia, bukan malah ikut terhanyut dengan gaya hidup dunia. Sebab, sebagai anak-anak Allah, kita dilahirkan berbeda dan sudah seharusnya berbeda dengan dunia. Rasul Paulus mengingatkan kita untuk
“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah
oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan
manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah
dan yang sempurna (Roma 12:2).
Dunia menjanjikan banyak hal tetapi tidak semua yang dunia janjikan itu, berkenan kepada Allah. Oleh sebab itu, ukuran dunia tidak tepat jika diukurkan kembali kepada Allah.
Cara pandang kita terhadap Allah maupun cara kerjaNya harus diralat. Allah yang kita miliki jauh lebih besar daripada masalah yang paling besar sekalipun di dalam dunia ini. Termasuk di dalamnya masalah karena penyakit. Dia lebih besar dari segalanya. Jadi kalau Allah maha besar, maka semua persoalan dan penyakit yang kita miliki sesungguhnya tidak berarti apa-apa bagi Dia. Layaknya sebutir debu dibandingkan galaksi bima sakti, tempat dimana sistem tata surya kita berada, semua masalah kita, sesungguhnya sangatlah kecil di mata Tuhan. Jadi mengapa kita harus memandang masalah atau penyakit yang kita miliki sebagai sesuatu yang besar sehingga melebihi kebesaran Allah?
Pikiran: Problema yang Utama
Problema kita yang utama terletak di dalam pikiran kita, yang sudah melekat di dalam sistem dunia. Munculnya ketakutan dan kekuatiran di dalam setiap masalah adalah dampak dari pola pikir yang salah terhadap Allah. Bahkan ironisnya, kita seringkali melupakan Allah sewaktu berada di dalam sebuah persoalan. Pikiran kita lebih terfokus pada masalah dan menyingkirkan Allah.
Cara pandang kita terhadap Allah, harus diakui, ikut menentukan bagaimana posisi kita di hadapanNya. Apakah sungguh-sungguh mengandalkanNya atau malat tidak menganggapNya ada. Kalau kita melihatNya sebagai Maha Besar, maka apapun masalah kita tidak berarti dihadapanNya dan kita dapat tinggal tenang, berharap kepadaNya. Pikiran akan membangun konstruksi bahwa Dia tidak pernah meninggalkan kita dan tidak perlu takut kehilanganNya di saat-saat sulit sekalipun. Inilah yang disebut harapan. Dia ada dan keberadaannya memberi kepada kita harapan!
“Ia tidak akan meninggalkan atau memusnahkan engkau dan
Ia tidak akan melupakan perjanjian yang diikrarkan-Nya
dengan sumpah kepada nenek moyangmu (De 4:31)”
Coba pikirkan dan renungkan hal ini baik-baik. KebesaranNya adalah sesuatu yang mutlak dan menginduksi apapun yang berada di dalam “kebesaranNya” itu. Tanpa terkecuali. Semua berada di bawah pengaruh dan kendaliNya.
Dialah “Allah segala allah dan Tuhan segala tuhan, Allah yang besar,
kuat dan dahsyat, yang tidak memandang bulu ataupun menerima suap
(De 10:17).
Allah Kita Besar!
Masalah atau apapun itu namanya, Dia ijinkan terjadi untuk membentuk dan menguji, sejauh mana kita setia kepadaNya. Sumbernya bisa berasal dari Allah sendiri ataupun dari Iblis. Tetapi di dalam kebesaranNya yang kuat dan dahsyat itu, siapapun tidak akan dapat menandingi ketika Ia mulai turun tangan. Salah satu kunci kekuatan dan keberhasilan Daud adalah saat cara berfikirnya tentang Tuhan, berbeda dari pada sistem dunia, berbeda dengan apa yang ada di dalam benak Saul dan prajurit Israel lainnya yang tengah siaga perang melawan bangsa Filistin. Cara pandangnya terhadap Allah yang besar dan dahsyat itu, membuat Daud berani tampil ke depan mengalahkan Goliat.
Demikian pula saat Daud berada di dalam masalah “pribadi”. Pada mulanya dia takut. Daud merasa sendiri dan tidak berdaya. Dimana-mana dia dikelilingi oleh bukit.
“Kulayangkan mataku ke gunung-gunung, darimanakah akan datang
pertolonganku?” (Maz 121:1).
Kita seringkali berfikir sama seperti Daud. Kita cuma melihat bukit bukit ataupun gunung-gunung masalah dan penyakit kita, dan itu telah membuat stamina jasmani bahkan rohani menjadi drop. Fokus pada “gunung” akan membuat kita terseret di dalam arus deras dunia yang tidak memiliki pengharapan terhadap Allah. Sistem kepercayaan kita menjadi tereduksi.
Tetapi sewaktu terjadi perobahan pola pikir dan menyadari Allah yang maha besar, lebih besar dari segala-galanya, Daud dengan lantangnya berseru,
“Pertolonganku ialah dari Tuhan yang menjadikan langit dan bumi!
(Maz 121:2)”.
Kita harus mampu melakukan perubahan radikal di dalam pola pikir kita jika kita mau menerima kuasa urapannya dan berada di dalam pengaruhnya yang besar. Kita harus berani berkata bahwa pertolongan kita adalah dari Allah. Sewaktu Dia dipihak kita, siapakah lawan kita? Apapun masalah yang kita hadapi, kalau kita berfikir bahwa Allah yang kita miliki jauh melebih semuanya itu, kita tidak akan pernah kehilangan pengharapan akan Dia bahwa Allah adalah sumber segalanya termasuk apa yang disebut dengan pertolongan.
Pertolongan Allah akan menjadikan kita kuat dan membawa pada kemenangan. Bahkan membuat kita tampil lebih dari pemenang. Bahkan Ia yang akan “berperang” melawan musuh-musuh kita yaitu penyakit, masalah, beban, Iblis, dsb.
“Dialah yang berjalan menyertai kamu untuk berperang bagimu
melawan musuhmu, dengan maksud memberikan kemenangan
kepadamu (De 20:4)”.
Dampak utama dari perubahan pola pikir kita sangat nyata. Dengan bersandar pada tangan Allah yang kuat, kita akan mampu dan dikuatkan melewati “kerikil” yang menjadi batu sandungan di depan kita. Dia menolong kita melewati dan mengatasi semuanya dan membawa kita kepada kemenangan besar.
Hadapi Badai Bersama Allah
Pola pikir akan membawa pengaruh pada isi hati kita. Pola pikir yang salah akan membuat kita goyah dan terombang-ambing tanpa suatu kepastian. Ibarat kapal, nahkoda tidak akan mampu membendung pengaruh gelombang dunia yang besar dan menakutkan. Kita bahkan takut berdiri di atas geladak dan memilih bersembunyi di dalam kamar kecil yang pengap. Tetapi jika kita mengambil keputusan untuk bersandar pada tangan Allah yang kuat, maka kita memiliki keberanian yang luar biasa menghadapi gelombang sebesar apapun. Kita mampu keluar dari kamar berdiri di geladak kapal untuk melihat lautan gelombang itu dan mampu mengencangkan kembali tali temali layar kapal kita yang kendur. Bahkan kita mampu berdiri dibalik kemudi kapal untuk mengendalikan laju kapal kehidupan kita. Sebab apa, bersama Allah, kita tidak kecut dan tidak tawar hati. Kemanapun kita pergi, dalam keadaan apapun, Tuhan menyertai. Kita harus membiarkan diri kita mengalir di dalam aliranNya yang dahsyat itu.
Penyertaan Tuhan membuat kita berani menghadapi keadaan bahkan membantu melepaskan diri dari keadaan itu. Roh Allah akan meniup layar kapal kita dan kita tinggal mengikuti aliran, kemana Dia membawa kita pergi.
Bukankah telah Kuperintahkan kepadamu: kuatkan dan teguhkanlah
hatimu? Janganlah kecut dan tawar hati, sebab TUHAN, Allahmu,
menyertai engkau, ke manapun engkau pergi." (Jos 1:9)
Setiap kita harus membangun pikiran yang melibatkan Allah. Bahwa sebagai anak-anak Tuhan, Dia tidak akan pernah membuang kita.
“Sebab TUHAN tidak akan membuang umat-Nya, sebab nama-
Nya yang besar. Bukankah TUHAN telah berkenan untuk membuat
kamu menjadi umat-Nya? (1Sa 12:22)”
Dia menjadi perisai yang membentengi kita dari segala macam serangan apapun dan menjadi matahari bagi kita untuk menerangi setiap serangan kegelapan terhadap kita. CahayaNya akan menyorot kita dan mengubah posisi kita dari gelap ke terang. Sebab dikatakanNya, di dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Di dalam Dia kita menjadi terang!
Lebih daripada itu, Allah punya kerinduan besar yang patut kita responi, bahwa Ia “tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela (Maz 84:12)”. Kita harus memastikan berada di posisi yang tepat untuk menerima kebaikan Allah yang sudah sangat tidak tertahan di dalam dirinya, dicurahkanNya buat kita.
Jangan Bergantung Pada Kolam Bethesda
Sakit adalah sebuah masalah kita! Bukan masalah Allah. Sakit seringkali melemahkan dan meruntuhkan kehidupan rohani orang-orang percaya hanya karena pola pikir yang belum diubahkan. Ini pandangan yang salah dan harus disadari oleh orang-orang yang ingin dijamah Allah. Ketika terjadi kesembuhan di kolam Bethesda, cara pandang orang tersebut telah menjadi serupa dengan dunia. Harapan satu-satunya adalah goncangan air kolam. Dia rela menunggu goncangan itu bertahun-tahun dan menantikan kesempatan pertama untuk terjun didalamnya. Tetapi dia tidak pernah memilikinya. Selama ia hanya berharap bahwa kesempatannya untuk sembuh hanya ada di kolam itu, tidak akan terjadi apa-apa di dalam dirinya, sebab ia tidak berdaya dan kalah bersaing dengan orang lain.
Sewaktu bertemu Yesus-pun, pola pikirnya yang belum berubah itu hampir saja membuat dirinya kehilangan momentum Ilahi dan tidak disembuhkan. Untunglah disaat-saat terakhir, dia menyadari bahwa sebetulnya dia tidak perlu tergantung dari orang lain yang membawanya turun ke kolam atau tidak harus menanti mujizat melalui kolam itu. Dia hanya perlu memposisikan diri di hadapan Yesus dan menerima karunia kesembuhan. Masalah yang dulu dianggap terlalu besar telah membuat ia membayar harga selama bertahun-tahun menghuni pinggir kolam. Tetapi perjumpaannya dengan Yesus, telah mengubah segala-galanya dan membuat hidupnya jadi berarti. Dia sembuh setelah menerima tawaran kesembuhan itu. Langkah pertama yang dilakukannya adalah merubah paradigma bahwa dia tidak perlu lagi bergantung pada goncangan air atau bopongan tangan orang lain.
Bercermin pada Bartimeus
Seperti hanya Bartimeus.
“Lalu tibalah Yesus dan murid-murid-Nya di Yerikho. Dan ketika
Yesus keluar dari Yerikho, bersama-sama dengan murid-murid-Nya
dan orang banyak yang berbondong-bondong, ada seorang pengemis
yang buta, bernama Bartimeus, anak Timeus, duduk di pinggir jalan
(Mr 10:46)”.
Bartimeus buta dan tidak berdaya. Tetapi cara berfikirnya tidak sama dengan sistem dunia. Banyak orang meremehkan dan menuding bahwa dia tidak bisa sembuh. Tetapi setiap hari, dia pasti mendengar berita tentang Yesus, seseorang yang memiliki kuasa dan mampu menyembuhkan. Dia tidak tahu siapa Yesus tetapi Bartimeus memiliki kerinduan untuk bertemu dengan Yesus sebab hanya dengan cara itulah dia bisa disembuhkan. Bartimeus ingin sembuh. Bartimeus tahu bahwa kesembuhan itu ada di dalam diri Yesus dan dia mengambil keputusan iman, bertemu dengan Yesus. Muncul harapan di dalam dirinya yang mengaktifkan imannya.
Bartimeus berpikir dengan cara berbeda. Maka ketika saatnya tiba, dia tidak ingin kehilangan momentum Ilahi. Cara berfikir Sorgawi menuntun dia “menemukan” Yesus di saat yang tepat. Bartimeus berseru dan berteriak-teriak memanggil Yesus. Dia tidak peduli apa pandangan orang disekelilingnya atas ulahnya itu. Dia terus berteriak memanggil Yesus di tengah keramaian. Orang-orang terganggu dengan polahnya dan berbalik menyuruhnya diam. Bartimeus tahu ini saatnya dan kesempatannya. Dia tahu bahwa apa yang dinantikannya selama ini tinggal beberapa jengkal di depan matanya yang buta. Dia terus berteriak dan teriakan ini meresonansi kekuatan spirituil di dalam diri Yesus sehingga memalingkan muka ke arah seseorang yang sedang bertindak dengan imannya. Bartimeus sembuh. Dia bisa melihat kembali dan orang pertama yang dilihatnya adalah Yesus. Sebuah sosok yang begitu besar yang ada di dalam hati dan pikirannya selama ini.
Bartimeus mengalami lawatan Allah karena dia memposisikan diri secara berbeda di dalam memanggil Allah. Orang-orang yang semula mengeliling Yesus paling paling hanya akan bertepuk tangan atau terkagum-kagum melihat tanda-tanda di dalam pelayanan Yesus. Tetapi Bartimeus memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh mereka. Orang-orang itu berfikir dan bertindak di atas permukaan. Mereka larut di dalam histeria Yesus, berada di dekatnya tetapi cara pandang mereka yang dunia telah membuat mereka kehilangan kesempatan memperoleh jamahan kasih karunia Yesus.
Jadi, kunci pertama untuk bergerak di dalam pelayanan kesembuhan atau menerima karunia kesembuhan adalah merubah paradigma kita dari masalah kepada Allah. Kita harus tetap berfokus kepada Allah yang besar. Berfokus kepada Yesus yang sudah berdiri disamping kita hingga ia mengerjakan sesuatu di dalam kita. Langkah pertama adalah merubah cara berfikir kita. Bukan dunia yang menjadi jawaban. Bukan sistem yang menjadi andalan dan bukan pula manusia atau prestasi. Tetapi hanya DIA sendiri yang mampu melakukan semuanya itu buat kita.
Komentar
Posting Komentar