AYUB: KESALEHAN YANG HAMPIR TERGOYAHKAN
Ayub, satu sosok di dalam Alkitab yang lazim kita kenal dengan penderitaan, lebih tepatnya, penderitaan karena Allah. Kita lupa, bahwa ada satu sisi lain yang jarang tersentuh, akibat perhatian yang terlalu fokus pada ‘penderitaan’ yang dialami Ayub. Sisi itu adalah kualitas karakternya yang tahan uji sebagai seorang benar, baik itu di hadapan manusia dan terlebih di hadapan Tuhan. Oleh sebab itu, setiap kali teologi tentang Ayub ini di bawa ke satu sisi secara ekstrim, yakni penderitaan, saya tidak mau menariknya ke ekstrim yang berlawanan yakni kebahagiaan, melainkan menempatkannya pada porsi yang seharusnya dimana ia berada sebagai satu sosok orang yang kualitas karakternya telah teruji di dengan baik, pertama melalui jalan kebahagiaan (yang di tandai dengan kepemilikan harta benda, keluarga yang shakinah dan hidup bahagia selamanya) dan kedua melalui jalan penderitaan (yang ditandai dengan kehilangan besar terhadap seluruh anggota keluarga, sahabat bahkan harta yang dengan susah payah diperolehnya). Kita melihat satu fakta yang luar biasa mengagumkan di dalam dirinya, ketika imannya kepada Allah pencipta, tidak pernah berubah atas situasi apapun yang dialaminya. Itu sebabnya, posisi Ayub di dalam ayunan bandul, seharusnya tetap di tengah ! Sekarang, mari kita lihat apa yang dapat kita pelajari dari pribadi dan pengalamannya tersebut.
Pelajaran Pertama: Ayub, pribadi yang dikenal manusia dan Allah
Catatan pertama tentang Ayub di dalam kitab suci langsung menunjuk pada pribadinya yang saleh. Ini sesuatu yang sangat tidak biasa mengenai pribadi orang di dalam Alkitab. Ayub 1:1 mencatat seperti ini, “Ada seorang laki-laki di tanah Us bernama Ayub; orang itu saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan”.
(BBE) There was a man in the land of Uz whose name was Job. He was without sin and upright, fearing God and keeping himself far from evil.
(IBIS) Di tanah Us tinggallah seorang laki-laki yang bernama Ayub. Ia menyembah Allah dan setia kepada-Nya. Ia orang yang baik budi dan tidak berbuat kejahatan sedikit pun.
(KJV) There was a man in the land of Uz, whose name was Job; and that man was perfect and upright, and one that feared God, and eschewed evil.
(MSG) Job was a man who lived in Uz. He was honest inside and out, a man of his word, who was totally devoted to God and hated evil with a passion.
Perhatikan pengungkapan awal tentang sosok Ayub pada ayat tersebut dan bandingkan dengan berbagai versi terjemahan yang lain. Semua memulai dengan pernyataan tentang seorang laki-laki di tanah Uz yang bernama Ayub. Pernyataan tersebut adalah sebuah pernyataan indentifikasi. Artinya, di antara banyak laki-laki di tanah Uz, ada satu laki-laki bernama Ayub yang secara khusus disorot dan patut diperhatikan karena, jika dibandingkan dengan laki-laki lain dalam lingkup geografis yang sama, Ayub punya keunggulan komparatif dibandingkan yang lain. Keunggulan itu terletak pada cara hidupnya yang saleh, jujur, menjauhi kejahatan dan takut akan Allah. Sesuatu yang diidentifikasikan biasanya beranjak dari hasil observasi dan perbandingan. Dari sanalah terlihat bahwa Ayub adalah pribadi yang sangat berbeda, dan karakter menduduki peringkat nomor satu dalam menentukan ‘there was a man in the land of Us’.
Peringkat nomor dua di bawah karakter adalah kekayaan Ayub. Alkitab mencatat bahwa Ayub “mempunyai tujuh orang anak laki-laki dan tiga anak perempuan. Di samping itu ia mempunyai banyak budak-budak, 7.000 ekor domba, 3.000 ekor unta, 1.000 ekor sapi, dan 500 ekor keledai. Pendek kata, dia adalah orang yang paling kaya di antara penduduk daerah Timur.” (Ayub 1:2-3). Maka dapat disimpulkan, dengan kekayaan sebesar itu, Ayub jauh lebih dikenal lagi sebagai pengusaha yang sangat diberkati. Dengan kekayaan yang luar biasa itu, Ayub menduduki peringkat sosial teratas dalam lingkup pergaulan masyarakat Us waktu itu. Maka lengkaplah satu identitas di dalam diri Ayub sebagai sosok yang memang benar-benar berbeda dibandingkan laki-laki lain yang berdiam di tanah Us. Melalui kekayaan material yang begitu melimpah dan karakter yang luar biasa baik, Ayub pasti punya banyak teman dan terkenal sebagai tokoh di daerahnya.
Satu-satunya yang mungkin menjadi ‘celah’ di dalam kehidupannya adalah perilaku sosial anak anaknya yang sangat senang dengan pesta dan hura-hura. “Ketujuh anak laki-laki Ayub mempunyai kebiasaan untuk mengadakan pesta di rumah masing-masing secara bergilir. Pada pesta itu ketiga anak perempuan Ayub juga diundang, lalu mereka semua makan dan minum bersama-sama.” (Ayub 1:4). Alkitab mencatat bahwa anak-anak Ayub punya kebiasaan pesta. Artinya telah menjadi sebuah gaya hidup mereka untuk duniawi dengan segala berkat materi yang diterima oleh orang tua mereka. Tentu saja Ayub bersedih hati dengan solah tingkah anak-anaknya. Itu sebabnya di dalam ayat berikutnya, Ayub selalu berdiri di hadapan Tuhan atas nama anak-anaknya jikalau dengan gaya hidup semacam itu telah melukai hati Tuhan. “Sehabis setiap pesta, Ayub selalu bangun pagi-pagi dan mempersembahkan kurban untuk tiap-tiap anaknya supaya mereka diampuni TUHAN. Sebab Ayub berpikir, boleh jadi anak-anaknya itu sudah berdosa dan menghina Allah tanpa sengaja.” (Ayub 1:5). Saya sependapat bahwa Ayub, dapat dikategorikan gagal mendidik anak-anaknya menjadi orang-orang yang takut Tuhan sama seperti dirinya. Dia pasti sangat bergumul untuk anak-anaknya ini, mereka -- dengan segala semangat orang muda, lingkup pergaulan luas dan dukungan finansial yang memadai -- akan menganggap bahwa ‘perilaku takut akan Tuhan’ justru tindakan yang tidak populer di kalangan lingkup pergaulan mereka sendiri. Itu sebabnya, Ayub senantiasa terlihat bersyafaat di hadapan Allah untuk kepentingan anak-anaknya.
Dalam perbincangan dengan iblis, Allah bahkan memberikan sebuah kesimpulan mengenai sosok Ayub ini, kesimpulan yang pasti lahir dari pengamatan dan hubungan yang demikian erat antara Allah dengan umatNya sendiri. Allah berkata kepada iblis, “Apakah telah kauperhatikan hamba-Ku Ayub? Di seluruh bumi tak ada orang yang begitu setia dan baik hati seperti dia. Ia menyembah Aku dan sama sekali tidak berbuat kejahatan." (Ayub 1:8). Bukan hanya membandingkannya dengan laki-laki di seluruh Us, melainkan Allah berani memberi satu kesimpulan yang sangat luar biasa tentang Ayub sebagai satu-satunya di muka bumi, manusia yang setia kepada Allah, baik hati (selalu tanpa prasangka), punya hubungan intim dengan Tuhan yang konsisten dan perilakunya jauh dari kejahatan. Kalau sampai demikian penilaian Allah, maka perilaku Ayub tersebut adalah satu acuan karakter yang patut kita teladani. Sangat jarang di dalam Alkitab kita jumpai tokoh sekaliber Ayub yang karakternya langsung dinilai oleh Allah dan bahkan dijamin sedemikian rupa, tidak tergoyahkan. Kalau bukan karena satu hubungan yang luar biasa dekat, hal ini tentu saja tidak akan pernah terjadi.
Pelajaran Kedua: Allah membuktikan kedaulatanNya atas Ayub
Hubungan yang terjalin antara Ayub dengan Allah dapat disandingkan kualitasnya dengan apa yang dulu pernah terjadi antara Nuh dan Allah. Alkitab mencatat, bahwa Nuh satu-satunya orang yang menjaga hidupnya dengan satu sikap hati takut akan Allah jika dibandingkan dengan orang sezaman-nya. Kitab Kejadian mencatat seperti ini, “Tetapi Nuh mendapat kasih karunia di mata TUHAN. Inilah riwayat Nuh: Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh itu hidup bergaul dengan Allah” (Kej 6:8-9). Sejarah memang selalu terulang. Ditengah situasi dimana banyak kejahatan dan kehidupan manusia yang bejat, tidak bermoral dan penuh dengan kekejian di mata Tuhan, selalu ada orang-orang yang hidupnya berkenan dan takut akan Allah. Nuh dan Ayub adalah sedikit di antaranya. Mereka mencoba bertahan dengan prinsip hidup yang terkesan radikal bagi kebanyakan orang. Kalau orang lain menganggap apa yang mereka lakukan sebagai sebuah keanehan dan gaya hidup mereka menjadi tidak populer, justru sikap seperti inilah yang dicari Allah; orang-orang yang masih takut kepadaNya dan hidup di dalam pergaulan erat dengan Allah. Kepada orang seperti ini, Allah selalu memperbesar kasihNya dan menyatakan kedaulatanNya. Berbeda dengan Nuh, yang diselamatkan Allah dari penghukuman bumi melalui air bah, kedaulatan Allah terhadap Ayub memakai jalan penderitaan. Allah “sengaja” membuat Ayub menderita untuk menguji hati dan iman-nya. Inilah pelajaran kedua yang bisa kita dapatkan di dalam kehidupan Ayub. Allah tidak pernah salah memilih orang. Ayub melalui jalan penderitaan yang tidak pernah dimengerti olehnya dan Ayub menjalaninya dengan taat. Saya menyebutnya ini sebagai a boundary event, sebuah batas yang sangat tipis tetapi menentukan, di dalam diri setiap anak manusia, ketika di bawa oleh Allah untuk pergi naik ke next level. Setiap melewati boundary event, Allah menggunakan sebuah peristiwa luar biasa untuk membentuk, menguji atau melatih seseorang untuk membawa orang tersebut berada di level berikutnya, sebagai satu bentuk promosi (bisa juga dibaca: proses) dari Allah. Inilah yang dialami Ayub. Allah berdaulat sepenuhnya atas hidup Ayub – dan tentunya kita – tanpa memberi pilihan. Apa yang dialami Ayub?
Alkitab mencatat ada sebuah deal antara Allah dan iblis, oknum yang digunakan-Nya sebagai proses bagi Ayub yang akan ke next level. Perhatikan percakapan berikut ini yang tercatat di dalam Ayub 1:6-11.
“Pada suatu hari datanglah anak-anak Allah menghadap TUHAN dan di antara mereka datanglah juga Iblis. Maka bertanyalah TUHAN kepada Iblis: "Dari mana engkau?" Lalu jawab Iblis kepada TUHAN: "Dari perjalanan mengelilingi dan menjelajah bumi." Lalu bertanyalah TUHAN kepada Iblis: "Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorangpun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan."
Perhatikan, bagian pertama dialog itu berisi penilaian Allah tentang kredibilitas Ayub di hadapan iblis. Allah bahkan menyebut Ayub sebagai “hamba-Ku”. Ini sebuah ungkapan kejujuran Allah mengenai siapa Ayub sesungguhnya di hadapan Allah. Kita semua mengerti bahwa seorang hamba, bahkan tidak memiliki kuasa atas dirinya sendiri. Allah memberi penekanan bahwa Ia-lah yang berdaulat atas Ayub dan segala keberadaannya.
Lalu jawab Iblis kepada TUHAN: "Apakah dengan tidak mendapat apa-apa Ayub takut akan Allah? Bukankah Engkau yang membuat pagar sekeliling dia dan rumahnya serta segala yang dimilikinya? Apa yang dikerjakannya telah Kauberkati dan apa yang dimilikinya makin bertambah di negeri itu."
Apakah anda terkejut membaca jawaban iblis? Perhatikan baik-baik. Apapun yang menjadi berkat dan pekerjaan Allah di dalam diri kita sebagai anak-anakNya, selalu di dalam perhatian yang cermat dari iblis. Oleh sebab itu, kita perlu menjaga hati dengan semua kebaikan yang Allah telah kerjakan agar tidak tercipta jalan bagi iblis untuk menciptakan kesombongan atau sikap materialistis, yang membuat kita lupa bersyukur bahwa semuanya itu berasal dariNya. Mengingat hal ini, sangatlah penting menempatkan diri kita di dalam covering Allah, sepenuhnya, di sepanjang waktu !
"Tetapi ulurkanlah tangan-Mu dan jamahlah segala yang dipunyainya, ia pasti mengutuki Engkau di hadapan-Mu."
Betapa liciknya iblis. Pernyataan di atas adalah sebuah provokasi terang-terangan di hadapan tahta Allah. Sesaat setelah ia menyanjung Allah sebagai penyebab utama semua berkat yang diterima Ayub, dengan kelihaiannya berkata-kata ia mencoba menanamkan pikiran jahatnya untuk membuat Allah bertindak sebaliknya. Hati-hati terhadap orang yang memiliki sifat jahat seperti ini. Seolah-olah baik dan simpati tetapi setiap perkataannya mengandung maksud jahat untuk menjatuhkan. Pertanyaannya adalah, apakah Allah terpengaruh? Ada banyak orang yang setuju bahwa Allah ‘terbujuk’ sehingga akhirnya berkata di dalam Ayub 1:12, Maka firman TUHAN kepada Iblis: "Nah, segala yang dipunyainya ada dalam kuasamu; hanya janganlah engkau mengulurkan tanganmu terhadap dirinya." Kemudian pergilah Iblis dari hadapan TUHAN.
Tetapi saya tidak setuju dengan pandangan itu. Ayub menderita adalah atas persetujuan dan sepengetahuan Allah. Dia tahu batas dan kapasitas ‘hamba-Nya’ itu sehingga melalui tindakan iblis yang terbatas, Allah tahu bahwa Ayub tidak akan berubah setianya! Jadi di dalam konteks tersebut, Allah sama sekali tidak terbujuk atau terprovokasi oleh kata-kata iblis. Allah justru memberikan kesempatan kepada iblis untuk ‘menguji’ Ayub yang dalam sepengetahuan Allah, Ayub tidak bakalan tergoyahkan imannya; yang dalam terminologi iblis justru bakal tergoyahkan (perhatikan kembali dialog di atas). Persetujuan Allah terhadap tindakan terbatas iblis tersebut lebih merupakan sebuah counter terhadap kesimpulan sepihak iblis di dalam dialog mereka mengenai Ayub. Bahasa gaulnya begini, “Kalau menurut kamu iblis, Ayub akan goyah imannya kepadaKu karena semua yang ada padanya aku tarik kembali dan membuatnya menderita, kita akan buktikan dengan caramu, kecuali satu hal, dirinya tetap milik-Ku” Sungguh sebuah kedaulatan yang luar biasa dimana kita semua ibarat ‘pion’ papan catur yang siap digeser ke sana ke sini oleh pecatur.
Pelajaran Ketiga: Penderitaan Ayub melalui tangan iblis
Mari kita baca kembali Ayub 1:12. Maka firman TUHAN kepada Iblis: "Nah, segala yang dipunyainya ada dalam kuasamu; hanya janganlah engkau mengulurkan tanganmu terhadap dirinya." Kemudian pergilah Iblis dari hadapan TUHAN.
Perhatikan frasa ‘maka Firman Tuhan kepada iblis’. Artinya sudah sangat jelas, Allah yang memberikan perintah itu kepada iblis untuk bertindak sesuai caranya untuk menguji kesetiaan dan kekokohan iman Ayub. Perintah itu punya batasan, semua yang dimiliki Ayub boleh di ambil dengan cara yang iblis kehendaki tapi iblis tidak diijinkan mengulurkan tangannya pada Ayub sendiri. Jalan penderitaan yang diciptakan atau seijin Allah memang tidak pernah ‘tak terbatas’ atau ‘tak dapat ditanggung’. Allah selalu ada di sana, melihat, mengamati dan menunggu waktu untuk sebuah tindakan yang tidak pernah terlambat. Dia tidak pernah membiarkan kita sendiri !
Mendapat legitimasi terbatas itu, iblis langsung bertindak. Seolah-olah covering Allah di dalam diri Ayub hilang begitu saja. Berbagai jalan yang semula tidak pernah terpikirkan, digunakan iblis untuk menghancurkan kehidupan Ayub. Apa yang dialaminya? Perhatikan baik-baik semua yang tercatat di Ayub 1:14-20. Semua milik berupa harta, ternak dan bahkan anak-anak kesayangannya, diambil dengan cara yang amat menggenaskan.
Musuh menyerang dan merampok lembu, sapi dan keledai Ayub, penjaganya terbunuh
“datanglah seorang pesuruh kepada Ayub dan berkata: "Sedang lembu sapi membajak dan keledai-keledai betina makan rumput di sebelahnya, datanglah orang-orang Syeba menyerang dan merampasnya serta memukul penjaganya dengan mata pedang. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu kepada tuan." (ayat 14-15)
Kambing domba dan penjaganya di sambar api
Sementara orang itu berbicara, datanglah orang lain dan berkata: "Api telah menyambar dari langit dan membakar serta memakan habis kambing domba dan penjaga-penjaga. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu kepada tuan." (ayat 16)
Unta dirampas musuh dan penjaganya terbunuh
Sementara orang itu berbicara, datanglah orang lain dan berkata: "Orang-orang Kasdim membentuk tiga pasukan, lalu menyerbu unta-unta dan merampasnya serta memukul penjaganya dengan mata pedang. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu kepada tuan." (ayat 17)
Semua anak Yakub meninggal akibat bencana alam saat sedang berpesta
Sementara orang itu berbicara, datanglah orang lain dan berkata: "Anak-anak tuan yang lelaki dan yang perempuan sedang makan-makan dan minum anggur di rumah saudara mereka yang sulung, maka tiba-tiba angin ribut bertiup dari seberang padang gurun; rumah itu dilandanya pada empat penjurunya dan roboh menimpa orang-orang muda itu, sehingga mereka mati. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu kepada tuan." (ayat 18-19)
Coba anda bayangkan, ketika anda dengan susah payah membangun sebuah bisnis atau pelayanan, imulai dari nol, di tengah dimana anda sedang menanjak dan menikmati semua itu, semuanya “runtuh” di dalam sekejab. Apa yang semula anda miliki tiba-tiba terlepas dengan cara yang amat tragis yang tidak pernah anda pikirkan. Pasti respon kita adalah, “mengapa hal ini terjadi?” dan kalimat kedua yang akan meluncur dari mulut kita adalah, “mengapa Allah membiarkan semua ini terjadi?” Bagaimana dengan Ayub?
Pasti Ayub mengalami kepedihan yang sangat luar biasa dengan deretan kehilangan yang memuncak dan beruntun. Alkitab memberitahukan (Ayub 1:20), Ayub berdiri dari kursinya, mengoyak jubah bagusnya yang sedang ia kenakan, dan mencukur kepalanya sebagai tanda perkabungan dan kehilangan yang sangat mendalam. Ayub pasti sedih dan menangis menyikapi perubahan yang demikian cepat yang sama sekali unpredictable. Kira-kira apakah tindakan anda sewaktu anda yang berada di dalam posisi Ayub waktu itu? Diantara sejumlah respon manusia atas penderitaan, kelompok-kelompok yang menyalahi Allah akan melepaskan argumentasi dan memperlihatkan sikap yang :
• Menyesali Allah dan menyalahkanNya
• Larut di dalam dukacita dan kesedihan
• Mencari pelampiasan dengan cara-cara duniawi
• Kecewa terhadap Tuhan
• Meninggalkan Tuhan
• Menyalahkan orang lain
Sekali lagi, pertanyaan ini sangat penting, bagaimana dengan Ayub? Sungguh luar biasa. Ayub berkata dengan lantang, "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!" (Ayub 1:21). Wah, ini sebuah manifestasi karakter yang luar biasa akibat kedalaman hubungan dengan Allah. Dalam hidup ini, saya pernah kehilangan sebuah kesempatan di tengah perjalanan “naik” menuju puncak akibat kesalahan saya sendiri sehingga harus memulai lagi dari awal, dan merangkak, dan berdiri, dan akhirnya tegak kembali. Kenyataan tersebut membuat saya menyesali diri dan memperbaiki sikap di hadapan Tuhan. Tetapi apa yang Ayub alami, sungguh bukan karena kesalahan yang dilakukannya. Konsekuensi kehilangan, akibat kesalahan kita sendiri memang patut diterima. Tapi Ayub bagaimana? Berbeda bukan? Dia tidak melakukan apapun yang salah di mata Tuhan. Bahkan ketika penderitaan itu mendera dirinya, dia tidak memberikan respon seperti umumnya orang Kristen dewasa ini. “Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut”. (Ayub 1:22)
Pada waktu saya mengeksposisi pasal pertama dari kitab Ayub ini, saya sampai terheran-heran dan berkata, “koq bisa ya, ada orang yang seperti ini?” Bahkan di dalam penderitaanpun, Ayub tetap memperlihatkan sikap hati yang sederhana, takut akan Tuhan dan tidak menyalahkan Tuhan atas situasi yang dialaminya. Sekalipun Ayub tidak mengerti apa yang sedang terjadi dan bagaimana semua itu bisa terjadi, Ayub tetap mempertahankan perspektif kesalehannya melalui karakternya yang kuat dan keyakinan mutlak bahwa Allah tidak akan meninggalkannya. Dia membangun satu pikiran – ditengah kesedihan yang dialaminya -- yang jarang kita miliki di dalam situasi kehilangan/tragedi, bahwa Allah yang memberi dan Allah jugalah yang mengambilnya! Sungguh sebuah level kesalehan yang benar-benar muncul bukan dari situasi atau kepentingan, juga bukan lapisan tipis coating di atas permukaan lensa; tetapi kesalehan yang lahir dari kedalaman hubungan akan Allah.
Bukti bahwa kesalehan itu sebagai sebab akibat hubungan yang dalam dan intim dengan Allah
terlihat di dalam babak kedua pertemuan Allah dengan iblis. Dialog itu kembali terulang. "Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorangpun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Ia tetap tekun dalam kesalehannya, meskipun engkau telah membujuk Aku melawan dia untuk mencelakakannya tanpa alasan." Lalu jawab Iblis kepada TUHAN: "Kulit ganti kulit! Orang akan memberikan segala yang dipunyainya ganti nyawanya. Tetapi ulurkanlah tangan-Mu dan jamahlah tulang dan dagingnya, ia pasti mengutuki Engkau di hadapan-Mu.” (Ayub 2:3-5)
Rupanya iblis gagal dalam rencananya tersebut dan meminta perubahan batasan untuk “menyiksa” Ayub dengan tujuan melemahkan iman dan pendiriannya. Kali ini iblis meminta hak untuk menyentuh Ayub. Jalan pikiran iblis sebetulnya mudah ditebak. Jika Ayub masih bisa bertahan ketika sesuatu di luar dirinya diusik, maka pastilah Ayub menyerah jika usikan itu ditambah kualitasnya dengan melibatkan dirinya sendiri. Berbeda dengan Tuhan, yang memang sejak awal sangat yakin bahwa Ayub tidak akan pernah meninggalkan diriNya. Itulah sebabnya, ketika iblis meminta pelonggaran batasan, Allah berkata kembali kepadanya di dalam Ayub 2:6, Maka firman TUHAN kepada Iblis: "Nah, ia dalam kuasamu; hanya sayangkan nyawanya." Ini yang ditunggu-tunggu iblis. Kesempatan untuk menyiksa Ayub secara fisik, yang pasti akan menjadi senjata pamungkas untuk “mengalahkan” Allah.
Apa yang dilakukan iblis? Ayub dikenai barah yang sangat parah. Ayub 2:7 mencatat , “Kemudian Iblis pergi dari hadapan TUHAN, lalu ditimpanya Ayub dengan barah yang busuk dari telapak kakinya sampai ke batu kepalanya”. Anda tahu barah? Penyakit kulit yang jika mengenai seseorang akan membuat kulit penderitanya mengeluarkan cairan busuk dan sangat gatal. Makin digaruk akan membuat daging terluka. Penyakit yang amat menyiksa. Tubuh akan mengeluarkan bau yang sangat khas sehingga tidak ada seorangpun berani mendekat karena jijik dan takut ketularan.
Para sahabat Ayub saja hampir hampir tidak mengenalinya. Bahkan isteri Ayub pada akhirnya menyerah dan berkata kepada Ayub, "Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!" (Ayub 2:9) Bayangkan kalau anda punya isteri dengan tipikal seperti ini. Ekstrim sebelah kanan adalah Allah, penderitaan dan penyakit barah; ekstrim sebelah kiri adalah isteri. Nasehat mana yang hendak diikuti? Ayub tahu jawabannya. Dia menghardik isterinya karena wanita itu, seharusnya menjadi penolong di dalam kesesakan, malah tidak berfungsi sebagai penolong yang sejati tetapi menghasutnya untuk berbalik menghujat Allah. Penolong yang berubah menjadi perongrong, yang hanya mencintainya karena harta dan membencinya di saat duka. Dia pantas mendapatkan perkataan Ayub yang keras. "Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?" Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya. (Ayub 2:10)
Pelajaran Keempat: Refleksi bagi kita
Ungkapan di dalam Mazmur 55:23 patut kita renungkan bersama. “Serahkanlah kuatirmu kepada TUHAN, maka Ia akan memelihara engkau! Tidak untuk selama-lamanya dibiarkan-Nya orang benar itu goyah”. Betulkah demikian? Rencana iblis hampir berhasil lho saudara-saudara. Keteguhan iman itu nyaris goncang dan itu bersumber dari dalam diri Ayub sendiri. Sedari awal, memang inilah yang menjadi tujuan utama iblis.
Ayub adalah manusia biasa yang masih berada di dalam daging dan masih dikotom di dalam
pikirannya melalui orang-orang terdekatnya, bahkan dirinya sendiri. Di sinilah kita melihat
bagaimana pergumulan seorang anak manusia yang berada di dalam penderitaan tanpa daya dan kuasa untuk merubah situasinya sendiri. Berbagai upaya dilakukan oleh Ayub. Dia mendengarkan nasehat sahabat-sahabatnya, dia bertanya-tanya, berkeluh kesah dan mengadu di hadapan Tuhan. Tetapi ada satu titik penting yang kemudian mengubah situasi ini sehingga Allah merasa bahwa sudah tiba waktuNya untuk bertindak menolong Ayub. Itu terdapat di pasal 42, sebuah titik balik dari penderitaan yang dialaminya. Ayub mencabut semua perkataan-perkataannya di hadapan Allah dan menyesali diri. Saya pikir, ini adalah sebuah respon manusiawi yang menjadi bahan pembelajaran penting bagi kita semua di dalam konteks kekinian. "Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal.” (Ayub 42:2) Inilah kesimpulan yang ditunggu-tunggu oleh Allah, yang seharusnya keluar dari mulut Ayub sejak awal. Sebuah kalimat pengakuan yang seharusnya menjadi respon dari pengalaman tragis yang dialami Ayub selama ini.
Luar biasa ya, seorang manusia, yang cuma makhluk fana, sedemikian rupa sehingga diperhatikan oleh Allah. Titik balik ini sekaligus menjadi akhir dari penderitaan dan awal yang baru bagi Ayub. Keadaannya dipulihkan. Sesuatu yang dipulihkan, hukumnya jelas, lebih dahsyat dari keadaan sebelumnya. Ayub mengalami pemulihan yang luar biasa, berkat jasmani dan rohani dan kasih Allah yang makin besar atas dirinya. Saya jadi ingat ungkapan pemazmur di dalam Mazmur 8:4-10. Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya: kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang; burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan. Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!
Kesimpulan saya adalah: Allah menguji orang benar dan orang benar harus memberikan respon yang benar. Jika ujian itu terjadi, orang benar itu takkan goyah selama-lamanya. “orang benar itu akan diingat selama-lamanya” Mazmur 112:6 (Sonny Eli Zaluchu / gloryofgodmin@gmail.com / http://sonnyelizaluchu.blogspot.com)
Pelajaran Pertama: Ayub, pribadi yang dikenal manusia dan Allah
Catatan pertama tentang Ayub di dalam kitab suci langsung menunjuk pada pribadinya yang saleh. Ini sesuatu yang sangat tidak biasa mengenai pribadi orang di dalam Alkitab. Ayub 1:1 mencatat seperti ini, “Ada seorang laki-laki di tanah Us bernama Ayub; orang itu saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan”.
(BBE) There was a man in the land of Uz whose name was Job. He was without sin and upright, fearing God and keeping himself far from evil.
(IBIS) Di tanah Us tinggallah seorang laki-laki yang bernama Ayub. Ia menyembah Allah dan setia kepada-Nya. Ia orang yang baik budi dan tidak berbuat kejahatan sedikit pun.
(KJV) There was a man in the land of Uz, whose name was Job; and that man was perfect and upright, and one that feared God, and eschewed evil.
(MSG) Job was a man who lived in Uz. He was honest inside and out, a man of his word, who was totally devoted to God and hated evil with a passion.
Perhatikan pengungkapan awal tentang sosok Ayub pada ayat tersebut dan bandingkan dengan berbagai versi terjemahan yang lain. Semua memulai dengan pernyataan tentang seorang laki-laki di tanah Uz yang bernama Ayub. Pernyataan tersebut adalah sebuah pernyataan indentifikasi. Artinya, di antara banyak laki-laki di tanah Uz, ada satu laki-laki bernama Ayub yang secara khusus disorot dan patut diperhatikan karena, jika dibandingkan dengan laki-laki lain dalam lingkup geografis yang sama, Ayub punya keunggulan komparatif dibandingkan yang lain. Keunggulan itu terletak pada cara hidupnya yang saleh, jujur, menjauhi kejahatan dan takut akan Allah. Sesuatu yang diidentifikasikan biasanya beranjak dari hasil observasi dan perbandingan. Dari sanalah terlihat bahwa Ayub adalah pribadi yang sangat berbeda, dan karakter menduduki peringkat nomor satu dalam menentukan ‘there was a man in the land of Us’.
Peringkat nomor dua di bawah karakter adalah kekayaan Ayub. Alkitab mencatat bahwa Ayub “mempunyai tujuh orang anak laki-laki dan tiga anak perempuan. Di samping itu ia mempunyai banyak budak-budak, 7.000 ekor domba, 3.000 ekor unta, 1.000 ekor sapi, dan 500 ekor keledai. Pendek kata, dia adalah orang yang paling kaya di antara penduduk daerah Timur.” (Ayub 1:2-3). Maka dapat disimpulkan, dengan kekayaan sebesar itu, Ayub jauh lebih dikenal lagi sebagai pengusaha yang sangat diberkati. Dengan kekayaan yang luar biasa itu, Ayub menduduki peringkat sosial teratas dalam lingkup pergaulan masyarakat Us waktu itu. Maka lengkaplah satu identitas di dalam diri Ayub sebagai sosok yang memang benar-benar berbeda dibandingkan laki-laki lain yang berdiam di tanah Us. Melalui kekayaan material yang begitu melimpah dan karakter yang luar biasa baik, Ayub pasti punya banyak teman dan terkenal sebagai tokoh di daerahnya.
Satu-satunya yang mungkin menjadi ‘celah’ di dalam kehidupannya adalah perilaku sosial anak anaknya yang sangat senang dengan pesta dan hura-hura. “Ketujuh anak laki-laki Ayub mempunyai kebiasaan untuk mengadakan pesta di rumah masing-masing secara bergilir. Pada pesta itu ketiga anak perempuan Ayub juga diundang, lalu mereka semua makan dan minum bersama-sama.” (Ayub 1:4). Alkitab mencatat bahwa anak-anak Ayub punya kebiasaan pesta. Artinya telah menjadi sebuah gaya hidup mereka untuk duniawi dengan segala berkat materi yang diterima oleh orang tua mereka. Tentu saja Ayub bersedih hati dengan solah tingkah anak-anaknya. Itu sebabnya di dalam ayat berikutnya, Ayub selalu berdiri di hadapan Tuhan atas nama anak-anaknya jikalau dengan gaya hidup semacam itu telah melukai hati Tuhan. “Sehabis setiap pesta, Ayub selalu bangun pagi-pagi dan mempersembahkan kurban untuk tiap-tiap anaknya supaya mereka diampuni TUHAN. Sebab Ayub berpikir, boleh jadi anak-anaknya itu sudah berdosa dan menghina Allah tanpa sengaja.” (Ayub 1:5). Saya sependapat bahwa Ayub, dapat dikategorikan gagal mendidik anak-anaknya menjadi orang-orang yang takut Tuhan sama seperti dirinya. Dia pasti sangat bergumul untuk anak-anaknya ini, mereka -- dengan segala semangat orang muda, lingkup pergaulan luas dan dukungan finansial yang memadai -- akan menganggap bahwa ‘perilaku takut akan Tuhan’ justru tindakan yang tidak populer di kalangan lingkup pergaulan mereka sendiri. Itu sebabnya, Ayub senantiasa terlihat bersyafaat di hadapan Allah untuk kepentingan anak-anaknya.
Dalam perbincangan dengan iblis, Allah bahkan memberikan sebuah kesimpulan mengenai sosok Ayub ini, kesimpulan yang pasti lahir dari pengamatan dan hubungan yang demikian erat antara Allah dengan umatNya sendiri. Allah berkata kepada iblis, “Apakah telah kauperhatikan hamba-Ku Ayub? Di seluruh bumi tak ada orang yang begitu setia dan baik hati seperti dia. Ia menyembah Aku dan sama sekali tidak berbuat kejahatan." (Ayub 1:8). Bukan hanya membandingkannya dengan laki-laki di seluruh Us, melainkan Allah berani memberi satu kesimpulan yang sangat luar biasa tentang Ayub sebagai satu-satunya di muka bumi, manusia yang setia kepada Allah, baik hati (selalu tanpa prasangka), punya hubungan intim dengan Tuhan yang konsisten dan perilakunya jauh dari kejahatan. Kalau sampai demikian penilaian Allah, maka perilaku Ayub tersebut adalah satu acuan karakter yang patut kita teladani. Sangat jarang di dalam Alkitab kita jumpai tokoh sekaliber Ayub yang karakternya langsung dinilai oleh Allah dan bahkan dijamin sedemikian rupa, tidak tergoyahkan. Kalau bukan karena satu hubungan yang luar biasa dekat, hal ini tentu saja tidak akan pernah terjadi.
Pelajaran Kedua: Allah membuktikan kedaulatanNya atas Ayub
Hubungan yang terjalin antara Ayub dengan Allah dapat disandingkan kualitasnya dengan apa yang dulu pernah terjadi antara Nuh dan Allah. Alkitab mencatat, bahwa Nuh satu-satunya orang yang menjaga hidupnya dengan satu sikap hati takut akan Allah jika dibandingkan dengan orang sezaman-nya. Kitab Kejadian mencatat seperti ini, “Tetapi Nuh mendapat kasih karunia di mata TUHAN. Inilah riwayat Nuh: Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh itu hidup bergaul dengan Allah” (Kej 6:8-9). Sejarah memang selalu terulang. Ditengah situasi dimana banyak kejahatan dan kehidupan manusia yang bejat, tidak bermoral dan penuh dengan kekejian di mata Tuhan, selalu ada orang-orang yang hidupnya berkenan dan takut akan Allah. Nuh dan Ayub adalah sedikit di antaranya. Mereka mencoba bertahan dengan prinsip hidup yang terkesan radikal bagi kebanyakan orang. Kalau orang lain menganggap apa yang mereka lakukan sebagai sebuah keanehan dan gaya hidup mereka menjadi tidak populer, justru sikap seperti inilah yang dicari Allah; orang-orang yang masih takut kepadaNya dan hidup di dalam pergaulan erat dengan Allah. Kepada orang seperti ini, Allah selalu memperbesar kasihNya dan menyatakan kedaulatanNya. Berbeda dengan Nuh, yang diselamatkan Allah dari penghukuman bumi melalui air bah, kedaulatan Allah terhadap Ayub memakai jalan penderitaan. Allah “sengaja” membuat Ayub menderita untuk menguji hati dan iman-nya. Inilah pelajaran kedua yang bisa kita dapatkan di dalam kehidupan Ayub. Allah tidak pernah salah memilih orang. Ayub melalui jalan penderitaan yang tidak pernah dimengerti olehnya dan Ayub menjalaninya dengan taat. Saya menyebutnya ini sebagai a boundary event, sebuah batas yang sangat tipis tetapi menentukan, di dalam diri setiap anak manusia, ketika di bawa oleh Allah untuk pergi naik ke next level. Setiap melewati boundary event, Allah menggunakan sebuah peristiwa luar biasa untuk membentuk, menguji atau melatih seseorang untuk membawa orang tersebut berada di level berikutnya, sebagai satu bentuk promosi (bisa juga dibaca: proses) dari Allah. Inilah yang dialami Ayub. Allah berdaulat sepenuhnya atas hidup Ayub – dan tentunya kita – tanpa memberi pilihan. Apa yang dialami Ayub?
Alkitab mencatat ada sebuah deal antara Allah dan iblis, oknum yang digunakan-Nya sebagai proses bagi Ayub yang akan ke next level. Perhatikan percakapan berikut ini yang tercatat di dalam Ayub 1:6-11.
“Pada suatu hari datanglah anak-anak Allah menghadap TUHAN dan di antara mereka datanglah juga Iblis. Maka bertanyalah TUHAN kepada Iblis: "Dari mana engkau?" Lalu jawab Iblis kepada TUHAN: "Dari perjalanan mengelilingi dan menjelajah bumi." Lalu bertanyalah TUHAN kepada Iblis: "Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorangpun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan."
Perhatikan, bagian pertama dialog itu berisi penilaian Allah tentang kredibilitas Ayub di hadapan iblis. Allah bahkan menyebut Ayub sebagai “hamba-Ku”. Ini sebuah ungkapan kejujuran Allah mengenai siapa Ayub sesungguhnya di hadapan Allah. Kita semua mengerti bahwa seorang hamba, bahkan tidak memiliki kuasa atas dirinya sendiri. Allah memberi penekanan bahwa Ia-lah yang berdaulat atas Ayub dan segala keberadaannya.
Lalu jawab Iblis kepada TUHAN: "Apakah dengan tidak mendapat apa-apa Ayub takut akan Allah? Bukankah Engkau yang membuat pagar sekeliling dia dan rumahnya serta segala yang dimilikinya? Apa yang dikerjakannya telah Kauberkati dan apa yang dimilikinya makin bertambah di negeri itu."
Apakah anda terkejut membaca jawaban iblis? Perhatikan baik-baik. Apapun yang menjadi berkat dan pekerjaan Allah di dalam diri kita sebagai anak-anakNya, selalu di dalam perhatian yang cermat dari iblis. Oleh sebab itu, kita perlu menjaga hati dengan semua kebaikan yang Allah telah kerjakan agar tidak tercipta jalan bagi iblis untuk menciptakan kesombongan atau sikap materialistis, yang membuat kita lupa bersyukur bahwa semuanya itu berasal dariNya. Mengingat hal ini, sangatlah penting menempatkan diri kita di dalam covering Allah, sepenuhnya, di sepanjang waktu !
"Tetapi ulurkanlah tangan-Mu dan jamahlah segala yang dipunyainya, ia pasti mengutuki Engkau di hadapan-Mu."
Betapa liciknya iblis. Pernyataan di atas adalah sebuah provokasi terang-terangan di hadapan tahta Allah. Sesaat setelah ia menyanjung Allah sebagai penyebab utama semua berkat yang diterima Ayub, dengan kelihaiannya berkata-kata ia mencoba menanamkan pikiran jahatnya untuk membuat Allah bertindak sebaliknya. Hati-hati terhadap orang yang memiliki sifat jahat seperti ini. Seolah-olah baik dan simpati tetapi setiap perkataannya mengandung maksud jahat untuk menjatuhkan. Pertanyaannya adalah, apakah Allah terpengaruh? Ada banyak orang yang setuju bahwa Allah ‘terbujuk’ sehingga akhirnya berkata di dalam Ayub 1:12, Maka firman TUHAN kepada Iblis: "Nah, segala yang dipunyainya ada dalam kuasamu; hanya janganlah engkau mengulurkan tanganmu terhadap dirinya." Kemudian pergilah Iblis dari hadapan TUHAN.
Tetapi saya tidak setuju dengan pandangan itu. Ayub menderita adalah atas persetujuan dan sepengetahuan Allah. Dia tahu batas dan kapasitas ‘hamba-Nya’ itu sehingga melalui tindakan iblis yang terbatas, Allah tahu bahwa Ayub tidak akan berubah setianya! Jadi di dalam konteks tersebut, Allah sama sekali tidak terbujuk atau terprovokasi oleh kata-kata iblis. Allah justru memberikan kesempatan kepada iblis untuk ‘menguji’ Ayub yang dalam sepengetahuan Allah, Ayub tidak bakalan tergoyahkan imannya; yang dalam terminologi iblis justru bakal tergoyahkan (perhatikan kembali dialog di atas). Persetujuan Allah terhadap tindakan terbatas iblis tersebut lebih merupakan sebuah counter terhadap kesimpulan sepihak iblis di dalam dialog mereka mengenai Ayub. Bahasa gaulnya begini, “Kalau menurut kamu iblis, Ayub akan goyah imannya kepadaKu karena semua yang ada padanya aku tarik kembali dan membuatnya menderita, kita akan buktikan dengan caramu, kecuali satu hal, dirinya tetap milik-Ku” Sungguh sebuah kedaulatan yang luar biasa dimana kita semua ibarat ‘pion’ papan catur yang siap digeser ke sana ke sini oleh pecatur.
Pelajaran Ketiga: Penderitaan Ayub melalui tangan iblis
Mari kita baca kembali Ayub 1:12. Maka firman TUHAN kepada Iblis: "Nah, segala yang dipunyainya ada dalam kuasamu; hanya janganlah engkau mengulurkan tanganmu terhadap dirinya." Kemudian pergilah Iblis dari hadapan TUHAN.
Perhatikan frasa ‘maka Firman Tuhan kepada iblis’. Artinya sudah sangat jelas, Allah yang memberikan perintah itu kepada iblis untuk bertindak sesuai caranya untuk menguji kesetiaan dan kekokohan iman Ayub. Perintah itu punya batasan, semua yang dimiliki Ayub boleh di ambil dengan cara yang iblis kehendaki tapi iblis tidak diijinkan mengulurkan tangannya pada Ayub sendiri. Jalan penderitaan yang diciptakan atau seijin Allah memang tidak pernah ‘tak terbatas’ atau ‘tak dapat ditanggung’. Allah selalu ada di sana, melihat, mengamati dan menunggu waktu untuk sebuah tindakan yang tidak pernah terlambat. Dia tidak pernah membiarkan kita sendiri !
Mendapat legitimasi terbatas itu, iblis langsung bertindak. Seolah-olah covering Allah di dalam diri Ayub hilang begitu saja. Berbagai jalan yang semula tidak pernah terpikirkan, digunakan iblis untuk menghancurkan kehidupan Ayub. Apa yang dialaminya? Perhatikan baik-baik semua yang tercatat di Ayub 1:14-20. Semua milik berupa harta, ternak dan bahkan anak-anak kesayangannya, diambil dengan cara yang amat menggenaskan.
Musuh menyerang dan merampok lembu, sapi dan keledai Ayub, penjaganya terbunuh
“datanglah seorang pesuruh kepada Ayub dan berkata: "Sedang lembu sapi membajak dan keledai-keledai betina makan rumput di sebelahnya, datanglah orang-orang Syeba menyerang dan merampasnya serta memukul penjaganya dengan mata pedang. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu kepada tuan." (ayat 14-15)
Kambing domba dan penjaganya di sambar api
Sementara orang itu berbicara, datanglah orang lain dan berkata: "Api telah menyambar dari langit dan membakar serta memakan habis kambing domba dan penjaga-penjaga. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu kepada tuan." (ayat 16)
Unta dirampas musuh dan penjaganya terbunuh
Sementara orang itu berbicara, datanglah orang lain dan berkata: "Orang-orang Kasdim membentuk tiga pasukan, lalu menyerbu unta-unta dan merampasnya serta memukul penjaganya dengan mata pedang. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu kepada tuan." (ayat 17)
Semua anak Yakub meninggal akibat bencana alam saat sedang berpesta
Sementara orang itu berbicara, datanglah orang lain dan berkata: "Anak-anak tuan yang lelaki dan yang perempuan sedang makan-makan dan minum anggur di rumah saudara mereka yang sulung, maka tiba-tiba angin ribut bertiup dari seberang padang gurun; rumah itu dilandanya pada empat penjurunya dan roboh menimpa orang-orang muda itu, sehingga mereka mati. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu kepada tuan." (ayat 18-19)
Coba anda bayangkan, ketika anda dengan susah payah membangun sebuah bisnis atau pelayanan, imulai dari nol, di tengah dimana anda sedang menanjak dan menikmati semua itu, semuanya “runtuh” di dalam sekejab. Apa yang semula anda miliki tiba-tiba terlepas dengan cara yang amat tragis yang tidak pernah anda pikirkan. Pasti respon kita adalah, “mengapa hal ini terjadi?” dan kalimat kedua yang akan meluncur dari mulut kita adalah, “mengapa Allah membiarkan semua ini terjadi?” Bagaimana dengan Ayub?
Pasti Ayub mengalami kepedihan yang sangat luar biasa dengan deretan kehilangan yang memuncak dan beruntun. Alkitab memberitahukan (Ayub 1:20), Ayub berdiri dari kursinya, mengoyak jubah bagusnya yang sedang ia kenakan, dan mencukur kepalanya sebagai tanda perkabungan dan kehilangan yang sangat mendalam. Ayub pasti sedih dan menangis menyikapi perubahan yang demikian cepat yang sama sekali unpredictable. Kira-kira apakah tindakan anda sewaktu anda yang berada di dalam posisi Ayub waktu itu? Diantara sejumlah respon manusia atas penderitaan, kelompok-kelompok yang menyalahi Allah akan melepaskan argumentasi dan memperlihatkan sikap yang :
• Menyesali Allah dan menyalahkanNya
• Larut di dalam dukacita dan kesedihan
• Mencari pelampiasan dengan cara-cara duniawi
• Kecewa terhadap Tuhan
• Meninggalkan Tuhan
• Menyalahkan orang lain
Sekali lagi, pertanyaan ini sangat penting, bagaimana dengan Ayub? Sungguh luar biasa. Ayub berkata dengan lantang, "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!" (Ayub 1:21). Wah, ini sebuah manifestasi karakter yang luar biasa akibat kedalaman hubungan dengan Allah. Dalam hidup ini, saya pernah kehilangan sebuah kesempatan di tengah perjalanan “naik” menuju puncak akibat kesalahan saya sendiri sehingga harus memulai lagi dari awal, dan merangkak, dan berdiri, dan akhirnya tegak kembali. Kenyataan tersebut membuat saya menyesali diri dan memperbaiki sikap di hadapan Tuhan. Tetapi apa yang Ayub alami, sungguh bukan karena kesalahan yang dilakukannya. Konsekuensi kehilangan, akibat kesalahan kita sendiri memang patut diterima. Tapi Ayub bagaimana? Berbeda bukan? Dia tidak melakukan apapun yang salah di mata Tuhan. Bahkan ketika penderitaan itu mendera dirinya, dia tidak memberikan respon seperti umumnya orang Kristen dewasa ini. “Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut”. (Ayub 1:22)
Pada waktu saya mengeksposisi pasal pertama dari kitab Ayub ini, saya sampai terheran-heran dan berkata, “koq bisa ya, ada orang yang seperti ini?” Bahkan di dalam penderitaanpun, Ayub tetap memperlihatkan sikap hati yang sederhana, takut akan Tuhan dan tidak menyalahkan Tuhan atas situasi yang dialaminya. Sekalipun Ayub tidak mengerti apa yang sedang terjadi dan bagaimana semua itu bisa terjadi, Ayub tetap mempertahankan perspektif kesalehannya melalui karakternya yang kuat dan keyakinan mutlak bahwa Allah tidak akan meninggalkannya. Dia membangun satu pikiran – ditengah kesedihan yang dialaminya -- yang jarang kita miliki di dalam situasi kehilangan/tragedi, bahwa Allah yang memberi dan Allah jugalah yang mengambilnya! Sungguh sebuah level kesalehan yang benar-benar muncul bukan dari situasi atau kepentingan, juga bukan lapisan tipis coating di atas permukaan lensa; tetapi kesalehan yang lahir dari kedalaman hubungan akan Allah.
Bukti bahwa kesalehan itu sebagai sebab akibat hubungan yang dalam dan intim dengan Allah
terlihat di dalam babak kedua pertemuan Allah dengan iblis. Dialog itu kembali terulang. "Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorangpun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Ia tetap tekun dalam kesalehannya, meskipun engkau telah membujuk Aku melawan dia untuk mencelakakannya tanpa alasan." Lalu jawab Iblis kepada TUHAN: "Kulit ganti kulit! Orang akan memberikan segala yang dipunyainya ganti nyawanya. Tetapi ulurkanlah tangan-Mu dan jamahlah tulang dan dagingnya, ia pasti mengutuki Engkau di hadapan-Mu.” (Ayub 2:3-5)
Rupanya iblis gagal dalam rencananya tersebut dan meminta perubahan batasan untuk “menyiksa” Ayub dengan tujuan melemahkan iman dan pendiriannya. Kali ini iblis meminta hak untuk menyentuh Ayub. Jalan pikiran iblis sebetulnya mudah ditebak. Jika Ayub masih bisa bertahan ketika sesuatu di luar dirinya diusik, maka pastilah Ayub menyerah jika usikan itu ditambah kualitasnya dengan melibatkan dirinya sendiri. Berbeda dengan Tuhan, yang memang sejak awal sangat yakin bahwa Ayub tidak akan pernah meninggalkan diriNya. Itulah sebabnya, ketika iblis meminta pelonggaran batasan, Allah berkata kembali kepadanya di dalam Ayub 2:6, Maka firman TUHAN kepada Iblis: "Nah, ia dalam kuasamu; hanya sayangkan nyawanya." Ini yang ditunggu-tunggu iblis. Kesempatan untuk menyiksa Ayub secara fisik, yang pasti akan menjadi senjata pamungkas untuk “mengalahkan” Allah.
Apa yang dilakukan iblis? Ayub dikenai barah yang sangat parah. Ayub 2:7 mencatat , “Kemudian Iblis pergi dari hadapan TUHAN, lalu ditimpanya Ayub dengan barah yang busuk dari telapak kakinya sampai ke batu kepalanya”. Anda tahu barah? Penyakit kulit yang jika mengenai seseorang akan membuat kulit penderitanya mengeluarkan cairan busuk dan sangat gatal. Makin digaruk akan membuat daging terluka. Penyakit yang amat menyiksa. Tubuh akan mengeluarkan bau yang sangat khas sehingga tidak ada seorangpun berani mendekat karena jijik dan takut ketularan.
Para sahabat Ayub saja hampir hampir tidak mengenalinya. Bahkan isteri Ayub pada akhirnya menyerah dan berkata kepada Ayub, "Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!" (Ayub 2:9) Bayangkan kalau anda punya isteri dengan tipikal seperti ini. Ekstrim sebelah kanan adalah Allah, penderitaan dan penyakit barah; ekstrim sebelah kiri adalah isteri. Nasehat mana yang hendak diikuti? Ayub tahu jawabannya. Dia menghardik isterinya karena wanita itu, seharusnya menjadi penolong di dalam kesesakan, malah tidak berfungsi sebagai penolong yang sejati tetapi menghasutnya untuk berbalik menghujat Allah. Penolong yang berubah menjadi perongrong, yang hanya mencintainya karena harta dan membencinya di saat duka. Dia pantas mendapatkan perkataan Ayub yang keras. "Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?" Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya. (Ayub 2:10)
Pelajaran Keempat: Refleksi bagi kita
Ungkapan di dalam Mazmur 55:23 patut kita renungkan bersama. “Serahkanlah kuatirmu kepada TUHAN, maka Ia akan memelihara engkau! Tidak untuk selama-lamanya dibiarkan-Nya orang benar itu goyah”. Betulkah demikian? Rencana iblis hampir berhasil lho saudara-saudara. Keteguhan iman itu nyaris goncang dan itu bersumber dari dalam diri Ayub sendiri. Sedari awal, memang inilah yang menjadi tujuan utama iblis.
Ayub adalah manusia biasa yang masih berada di dalam daging dan masih dikotom di dalam
pikirannya melalui orang-orang terdekatnya, bahkan dirinya sendiri. Di sinilah kita melihat
bagaimana pergumulan seorang anak manusia yang berada di dalam penderitaan tanpa daya dan kuasa untuk merubah situasinya sendiri. Berbagai upaya dilakukan oleh Ayub. Dia mendengarkan nasehat sahabat-sahabatnya, dia bertanya-tanya, berkeluh kesah dan mengadu di hadapan Tuhan. Tetapi ada satu titik penting yang kemudian mengubah situasi ini sehingga Allah merasa bahwa sudah tiba waktuNya untuk bertindak menolong Ayub. Itu terdapat di pasal 42, sebuah titik balik dari penderitaan yang dialaminya. Ayub mencabut semua perkataan-perkataannya di hadapan Allah dan menyesali diri. Saya pikir, ini adalah sebuah respon manusiawi yang menjadi bahan pembelajaran penting bagi kita semua di dalam konteks kekinian. "Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal.” (Ayub 42:2) Inilah kesimpulan yang ditunggu-tunggu oleh Allah, yang seharusnya keluar dari mulut Ayub sejak awal. Sebuah kalimat pengakuan yang seharusnya menjadi respon dari pengalaman tragis yang dialami Ayub selama ini.
Luar biasa ya, seorang manusia, yang cuma makhluk fana, sedemikian rupa sehingga diperhatikan oleh Allah. Titik balik ini sekaligus menjadi akhir dari penderitaan dan awal yang baru bagi Ayub. Keadaannya dipulihkan. Sesuatu yang dipulihkan, hukumnya jelas, lebih dahsyat dari keadaan sebelumnya. Ayub mengalami pemulihan yang luar biasa, berkat jasmani dan rohani dan kasih Allah yang makin besar atas dirinya. Saya jadi ingat ungkapan pemazmur di dalam Mazmur 8:4-10. Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya: kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang; burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan. Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!
Kesimpulan saya adalah: Allah menguji orang benar dan orang benar harus memberikan respon yang benar. Jika ujian itu terjadi, orang benar itu takkan goyah selama-lamanya. “orang benar itu akan diingat selama-lamanya” Mazmur 112:6 (Sonny Eli Zaluchu / gloryofgodmin@gmail.com / http://sonnyelizaluchu.blogspot.com)
Ya, orang benar itu akan menjadi batu penjuru bagi orang2 sesudahnya. Kita pun harus demikian, menjadi orang benar di tengah jaman yang bengkok hatinya ini.
BalasHapusmakasih Om buat tulisan ini, menguatkan Kez.
BalasHapusTuhan gak akan biarkan Iman Kez goyah dlm menjalani proses.
GBU
Nice Post.
BalasHapus----------
Magic of Thinking.
-Children’s Poem-
Adult’s Poem