BETHLEHEM: KOTA ROTI YANG TIDAK PUNYA ROTI

Artikel ini dimuat di Suara Merdeka Minggu, 28 Des 2008
http://gaya.suaramerdeka.com/index.php?id=384


Akhirnya saya bisa menginjakkan kaki bahkan tidur satu malam di kota Bethlehem. Keinginan yang lama mengendap itu terlampiaskan. Berkali-kali dalam kunjungan ke Timur Tengah, saya gagal masuk kota ini. Hambatan yang paling utama adalah soal keamanan dan situasi politik yang tidak stabil. Terlebih saya memasukinya dari arah Israel dan ini membuat perjalanan menjadi tidak mudah. Mengapa? Kota Bethlehem adalah kota yang sarat konflik dan diperebutkan oleh Palestina dan Israel. Di masa intifada, kota ini menjadi salah satu basis perjuangan Palestina. Pada waktu otoritas Palestina akhirnya berkuasa atas Bethlehem, Israel mempersulit akses keluar masuk kota ini. Diperlukan pemeriksaan keamanan yang cukup ketat oleh tentara Israel di pintu perbatasan. Dengan muka yang galak, dan persenjataan lengkap, mereka naik ke bus dan memeriksa setiap penumpang serta mencocokan wajah dengan foto yang tertera di dalam paspor. Siapapun tidak diijinkan memotret wilayah perbatasan tersebut.

Pintu masuk yang saya maksudkan adalah daerah perbatasan yang dibangun oleh Israel untuk memasuki kota ini. Sebagaimana kita ketahui, pemerintah Israel telah membangun tembok besar yang sangat tinggi yang membatasi wilayah Bethlehem dengan Israel. Hanya ada satu pintu untuk umum keluar masuk ke sana. Saya memutuskan naik bus langsung dari wilayah Israel ke Bethlehem. Jika memilih jalan kaki, maka bus Israel hanya mengantar hingga perbatasan. Selanjutnya jalan kaki di koridor yang sengaja di buat berkelok-kelok sepanjang satu kilometer, untuk kemudian mencari angkutan di wilayah Palestina.


Sungguh beruntung. Pemeriksaan berjalan cukup singkat karena antriannya cukup panjang. Bus yang saya tumpangi melintas masuk ke dalam kota bertembok itu. Menariknya, semua tembok di sisi Israel, tertata dengan baik dan bersih. Beda dengan tembok di sisi Palestina, kotor dan tidak terawat. Tetapi disemua ruang kosong tembok itu, terpasang poster-poster yang menolak isolasi dan lukisan dinding yang bersifat propaganda perjuangan rakyat Palestina. Karena tidak diijinkan memotret, saya cuma tersenyum menyaksikan parade lukisan tembok yang lucu tapi penuh dengan sindiran itu.

Kota Bertembok
Bethlehem. Siapa yang tidak kenal kota ini. Sebuah kota bersejarah yang amat penting bagi umat Nasrani dan juga muslim, yang aslinya sudah dihuni oleh suku bangsa Kanaan 3000 tahun SM. Bentuk bangunannya masih terlihat kuno. Seperti lazimnya bentuk rumah di Timur Tengah yang seperti kotak tanpa atap yang terbuat dari batu kapur. Mayoritas penduduknya adalah orang-orang muslim Palestina. Tetapi di sana juga mereka hidup bertetangga dengan penganut Kristen dan Katolik. Kota ini bebas dari konflik beragama. Kota yang terletak di wilayah tepi Barat ini masuk menjadi otoritas Palestina sejak 21 Desember 1995. Moment sangat penting itu ditandai dengan perayaan Natal pertama tgl 24 Desember 1995 yang turut dihadiri pemimpin Palestina kala itu, Yasser Arafat. Maka ketika kita masuk ke dalam kota, kita akan menemukan wajah-wajah Arab dan petugas keamanan Palestina yang patroli di tiap sudut kota. Tidak ada orang Israel yang berani masuk ke kota ini. Sebaliknya, banyak orang Arab yang setiap harinya melintasi perbatasan dan bekerja di wilayah Israel. Salah satunya adalah sopir bus yang mengantar saya.

Akibat persoalan politik, Israel mengisolasi kota ini dengan cara membangun tembok pembatas yang tinggi dan penuh dengan kamera keamanan. Itu sebabnya sesuatu yang kontras langsung terpampang di depan mata saat memasuki Bethlehem. Tidak ada keramaian, jalanan yang sepi dan suasana seperti kota yang terkepung. Lalu lintas kendaraan juga sedikit. Orang asing seperti saya akan dengan mudah teridentifikasi di sana. Kendati demikian, mereka sangat ramah. Setiap wisatawan yang masuk ke dalam kota ini selalu disambut dengan senyuman sukacita karena dianggap akan membelanjakan dollarnya sebagai keuntungan bagi masyarakat.

Akibat isolasi tersebut, secara ekonomi kota ini terlihat “mati” karena segala sesuatunya ditentukan oleh arus barang yang keluar masuk melalui gerbang perbatasan. Sangat kontras dengan namanya yang berarti rumah roti dalam bahasa Ibrani atau rumah daging dalam bahasa Arab. Dulu memang kota ini kaya dengan berbagai produk domestik dan hasil bumi seperti buah-buahan dan sayur mayur. Tetapi karena terisolasi, kota ini seolah kehilangan kemakmurannya. Satu-satunya tempat yang membuat kota ini terasa hidup adalah pusat kota, yang menjadi daerah tujuan wisata manca negara sekaligus tempat peziarahan Nasrani. Di tempat itu ada sebuah gereja, dengan lapangan yang sangat luas yang dikenal dengan nama The Star Way. Disebut demikian karena jalanan ini pernah dilalui oleh tiga orang Majus dari Persia yang datang ke Bethlehem. Gereja yang menjadi satu-satunya bangunan tertua di kota Bethlehem itu dibangun di atas lokasi yang secara tradisi dianggap sebagai tempat kelahiran Kristus. Itu sebabnya dinamakan Gereja Kelahiran (Nativity Church). Hampir setiap tahun, ribuan orang Kristen dan Islam tumpah ruah di jalanan Bethlehem untuk merayakan Christmas Festivities in Bethlehem. Sebuah parade budaya yang melibatkan kekristenan Barat, ortodoks dan arab yang unik dan khas. Sayang sekali, saya tidak berkesempatan menyaksikannya karnaval tersebut.

Suka Belanja
Setelah berjalan sekitar 25 menit dari perbatasan, bus akhirnya tiba di sebuah kaki bukit dan di parkir di sebuah bangunan besar. Gedung parkir ini dapat memuat hingga seratus bus wisatawan sekaligus. Pemerintah Palestina memang membangun secara khusus gedung parkir ini mengingat lokasi pusat kota Bethlehem yang padat rumah penduduk dan jalan raya yang sempit, karena hampir semua mobil di parkir di jalan raya. Semua penumpang harus turun dan berjalan kaki sejauh 15 menit menuju nativity Church. Lokasi gereja ini berada di puncak sebuah bukit batu setinggi 777 meter di atas permukaan laut, sehingga kita perlu berjalan mendaki. Barulah di daerah ini saya merasakan keramaian dan menjumpai toko-toko makanan serta souvenir.

Mungkin karena keadaan ekonomi yang terisolasi inilah, pada umumnya pedagang jalanan di sepanjang pendakian menuju gereja kelahiran, sangat agresif. Untuk itu kita harus berhati-hati sewaktu membeli dagangan mereka yang berupa souvenir seperti kalung, gelang, gantungan kunci, tas sulaman dan kartu pos serta kafiyeh khas Arafat. Sekali berhenti untuk menawar, maka semuanya akan datang merubung. Jika tidak hati-hati, barang yang sebetulnya murah bisa terbeli dengan harga mahal dan dompet bisa melayang. Ya, kota ini juga terkenal dengan para pencopet yang sangat lihai dan bekerja secara berkelompok. Mereka juga fasih berbahasa Indonesia. Ungkapan seperti, “murah…murah..” atau “ayo beli-beli”, juga kalimat, “cuma sepuluh dollar” menjadi tidak asing lagi. Guide yang mengantar saya menjelaskan bahwa banyak sekali orang Indonesia yang berkunjung ke kota itu sehingga para asongan mengerti bahasa Indonesia. “Your people terkenal suka belanja di kota kami,” katanya.

Denyut ekonomi kota ini ditopang oleh produksi minyak zaitun dan buah-buahan yang di ‘ekspor’ ke wilayah Israel. Tetapi isolasi telah membuat kota ini menjadi lumpuh. Pemasukan devisa cuma mengandalkan kedatangan wisatawan, yang memang disambut secara terbuka. Di setiap jalan, kita dapat menjumpai pengemis dan anak-anak Arab yang meminta-minta. Selebihnya kota ini hidup dari dagang para penduduknya. Pada hari pasaran, mereka akan menggunakan lapangan terbuka untuk menggelar dagangan.

Nativity Church
Tidak terasa saya sudah tiba di lokasi gereja Kelahiran Kristus. Uniknya, untuk memasuki gereja ini, kita harus berjalan menunduk melewati sebuah pintu selebar badan manusia saja. Pintu itu secara historis sengaja dibuat untuk mengindari para perampok berkuda memasuki dan merampok gereja. Tetapi guide juga menjelaskan bahwa ada makna filosofisnya sehingga pintu itu dibuat sangat rendah dan sempit itu. “Ini tempat suci dan kudus. Artinya, siapapun dia, harus turun dari kendaraannya dan menundukkan diri untuk mengalami perjumpaan dengan yang maha kuasa,” katanya menjelaskan. Itulah satu-satunya pintu masuk utama ke kompleks gereja yang sangat luas dan terbagi atas tiga kompleks itu.

Memasuki basilika The Church of Nativity seperti membawa kita ke sebuah dunia yang berbeda, ke dalam satu dunia multi-budaya mulai abad pertama hingga pertengahan. Berbagai budaya memang mempengaruhi bentuk kota dan bangunan ini. Mulai budaya Kanaan asli (penduduk awal Bethlehem), hingga era Byzantium, style Romawi, pengaruh Islam-Arab, bahkan Kekristenan Barat. Konstruksi bangunan Nativity Church sendiri sudah berkali-kali mengalami bongkar pasang seiring dengan bergantinya penguasa kota ini. Aslinya basilika ini dibangun oleh Helena dengan konsep bangunan Byzantium di abad 4. Helena adalah ibu dari Kaisar Konstantin yang menjadikan agama Kristen sebagai agama negara. Ratu inilah yang berjasa menyelamatkan bangunan-bangunan suci di Yerusalem seperti gereja Makam Kudus di Golgota dan St. Catherine Monastery di kaki Gunung Sina’i. Basilika hasil karya Ratu Helena ini sempat dirobohkan sewaktu orang-orang Samaria menguasai Bethlehem. Kemudian dibangun kembali di abad ke 6 di era kekuasaan Kaisar Romawi Justinian. Bangunan yang sekarang berdiri adalah hasil restorasi modern dengan tetap mempertahankan keaslian gereja sebagai upaya menyelamatkan berbagai artefak asli peninggalan era Justinian, bahkan Byzantium, yang masih ada. Salah satu yang terkenal adalah lantai dan dinding bermozaik yang sangat indah. Di atas lantai asli yang penuh mozaik, dibangun lantai baru yang diberi kerangka sehingga kita masih dapat melihat ke bawah. Sisa mozaik di dinding juga masih terlihat menempel kuat meskipun sudah tidak utuh. Di sebelah kiri dan kanan basilika terdapat tiang batu berbentuk pilar setinggi 6 meter dan celah-celah cahaya matahari di jendela dekat atap. Jadi dengan design tersebut, dimanapun matahari berada, selalu ada cahaya yang menerobos masuk ke dalam gedung gereja yang ikut membentuk suasana artistik. Di atas pilar-pilar, tergantung lampu lampu penerangan. Tepat di ujung gedung ada sebuah altar gereja ortodok yang masih dipakai untuk beribadah hingga kini. Rasanya tidak ingin meninggalkan tempat yang begitu mengagumkan ini. Ada cerita menarik soal gereja yang juga diberi nama Gereja Al Mahd ini. Sewaktu Persia menginvasi Jerusalem tahun 614, bangunan ini satu-satunya yang tidak diusik untuk dihancurkan. Kenapa? Pasukan Persia menghormati sebuah lukisan mozaik di dindingnya yang menggambarkan tiga orang Majus berpakaian Persia yang datang ke Bethlehem menjumpai bayi Yesus. Demikian juga sewaktu pasukan muslim pimpinan Khalifah Umar bin Khattab menguasai Yerusalem tahun 638, beliau memberi jaminan keamanan untuk seluruh penduduk dan wilayah Bethlehem. Khalifah yang religius ini datang ke Bethemen dan berdoa di ujung lapangan tidak jauh dari gereja Al Mahd. Tempat dimana sang khalifah berdoa, di atasnya dibangun Masjid yang dinamai Masjid Umar dan hingga saat ini berdiri berhadapan dengan Basilika Al Mahd.

Perjalanan belum berakhir. Ada satu tempat penting di bagian dasar bangunan megah itu. Turun menggunakan tangga batu berusia ratusan tahun di sebelah kanan altar gereja ortodoks. Harus jalan berhati-hati karena penerangan sangat sedikit. Ruangan itu adalah sebuah gua yang sudah dipekuat dengan lapisan semen dan dibentuk lebih luas untuk menampung orang lebih banyak masuk. Penerangan utamanya berasal dari ratusan lilin dan pelita. Tentu saja tempatnya menjadi sesak dan penuh dengan asap. Di pojok gua terdapat cekungan gua asli yang sudah menghitam kena asap ribuan tahun. Di sana terdapat altar ibadah. Tepat di bawahnya, ada marmer berlubang. Disekeliling lubang itu terdapat bintang perak yang besar yang diukir dengan sebuah kalimat latin, “Hic de Maria Virgine Jesus Christus Natus est” . Artinya, disinilah Kristus di lahirkan. Itulah groto (gua batu) yang menjadi tempat dimana Kristus di lahirkan. Peziarah dari manca negara berdesakan di dalam ruangan itu untuk berdoa dan melihat dari dekat gua kelahiran Kristus. Di depannya ada palungan yang diyakini sebagai tempat bayi Yesus diletakkan. Setelah berdoa sebentar, saya langsung keluar dari gua melewati pintu di sebelah kiri altar utama yang ada di atas gua. Rupanya saya masuk ke sebuah gedung gereja modern yang dibangun oleh Katolik Fransiskan. Gedung Nativity Church sendiri dikelola oleh tiga kelompok gereja yakni Katolik Fransiskan, Ortodoks Yunani dan Ortodoks Armenian. Bangunan ini secara keseluruhan berbentuk silang salib. Bagian terpanjangnya berukuran 170 kaki dan lebarnya 80 kaki. Cukup besar.

Was-was
Hari sudah sore dan perut terasa keroncongan. Di lapangan saya bertemu kembali dengan guide Palestina yang ramah, sedang berbicara dengan polisi Palestina yang berpakaian seadanya tetapi rapi. Mereka sangat menghormati wisatawan. Sungguh tidak mudah mencari makanan dengan selera Asia. Setelah berputar-putar beberapa lama, kami menemukan satu restoran Chinesse Food. Namanya saja Chinesse Food di Arab, inilah pertama kali saya makan Chiness Food dengan aroma Arab yang sangat kuat. Bumbu bakminya penuh dengan rempah-rempah. Kuah sopnya mungkin mirip gule. Cuma namanya saja yang Chinesse tapi tastenya Arabian. Lumayan, daripada tidak sama sekali.

Tapi yang membuat guide saya begong adalah saat mengutarakan keinginan untuk tidur satu malam di Bethlehem. Seperti tidak percaya atas permintaan yang tidak biasa tersebut. Sebab biasanya, wisatawan justru menghindari kota ini di malam hari dan cepat-cepat berbalik kembali ke Jerusalem yang cuma berjarak 9 kilometer saja.

Di pusat kota ada hotel, yang dulu sebelum pembangunan tembok pembatas menjadi salah satu hotel berbintang empat di kawasan tersebut. Sekarang hotel itu sepi. Wisatawan lebih memilih hotel di wilayah Israel dengan alasan keamanan. Saya memutuskan menginap di sana dengan biaya yang relatif lebih murah. Sempat was-was juga karena diberitahu bahwa hotel itu pernah di bom. Berbeda dengan wilayah Israel, kota Bethlehem seperti kota mati di malam hari. Penerangan amat sedikit. Dari kamar hotel, mulai jam 8 malam, jalanan sudah sepi. Di kejauhan tampak bangunan-bangunan yang terbuat dari batu kapur, bertengger di dinding-dinding pegunungan. Sebuah kota kuno yang sarat makna rohani bagi pemeluknya. Malam itu saya tidur nyenyak dan bangun tanpa kekurangan sesuatu apapun keesokan harinya. Sehari semalam di Bethlehem, sungguh merupakan pengalaman tak terlupakan. (Sonny Eli Zaluchu)***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SECUPAK GANDUM SEDINAR

KESAKSIAN: MOBIL BARU DARI TUHAN

TUHAN ADALAH GEMBALAKU - Mazmur 23:1-6